Sawo Tegalsari

Sawo Tegalsari

"Di Surabaya. Di acara besar Maulid Nabi. Di Surabaya Bersholawat. Yang dihadiri Habib Riziq," jawabnya.

Itu tahun 2014.

Keluar dari Mabes TNI-AD, saya baru berani menghubungi Anies Baswedan. Sudah pasti bisa ke sana. Acara-acara terpenting hari itu sudah selesai.

Saya pun kirim WA. "Pak Gubernur, saya ingin melihat Joglo Tegalsari. Malam ini. Baru bisa berangkat dari Grand Hyatt setelah magrib," tulis saya di WA. "Tidak harus ada Pak Gub. Yang penting ada tour guide yang bisa menjelaskan," kata saya lagi.

Tentu saya harus memaklumi kesibukan seorang gubernur Jakarta. Yang harus bekerja sampai malam —pun begitu ketika saya menjadi sesuatu dulu.

Bagi saya, ke rumah Anies tanpa tuan rumah pun tidak masalah. Ini kan mendadak. Tanpa bikin janji pula. Dan lagi ini bukan urusan yang penting dan mendesak. Pokoknya saya akan ke joglo itu —ada atau tidak ada tuan rumahnya.

Saya pun harus tahu. Anda juga sudah tahu: pada jam habis magrib seperti itu lalu-lintas dari Jalan Thamrin ke Lebak Bulus sangat berat. Jakarta sudah kembali padat —pertanda pada umumnya orang tidak lagi takut Covid-19. Rendahnya angka Covid di Indonesia memang sangat mengagumkan. Nama pemerintah harum sekali di penanganan pandemi ini.

Lalu-lintas memang benar-benar padat. Maka benar: jangan bikin janji dengan orang penting pada jam seperti itu. Saya tidak bikin janji. Saya hanya memberi tahu.

Pun sebelum ada jawaban dari Anies: saya berangkat menuju joglo itu. Lewat Wolter Mongisidi. Lalu depan RS Fatmawati. Lalu-lintas benar-benar berat.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba layar HP menyala. "Jangan-jangan kita tiba di joglo pada waktu yang sama". Anies Baswedan yang mengirim WA itu. "Saya juga dari arah Ancol," tambahnya.

Oh, rupanya hari itu ia tidak pulang larut malam.

Sampai di Jalan Fatmawati hari sudah benar-benar gelap. Saya baru sekali ini lewat depan RSUP Fatmawati di malam hari. Ampuuuuun. Dari luar, rumah sakit milik Kemenkes itu seperti berduka: sangat tidak cukup cahaya. Entah karena lampunya yang sangat minim atau memang lagi diadakan penghematan.

Sampai di ujung Jalan Fatmawati, Google masih minta saya terus ke arah sana. Lalu ada gang sempit. Kami harus belok kanan memasuki gang itu.

"Oh... Inilah gang sempit yang dimaksud Pendeta Reno de Topeng," kata saya dalam hati. Ternyata tidak terlalu sempit. Mobil masih bisa berpapasan —asal yang satu mengalah, melambat.

Tapi gang ini kok panjang sekali. Berkelok-kelok pula. Bukankah Reno mengatakan gang sempit itu hanya sekitar 200 meter?

Sumber: