Sawo Tegalsari

Sawo Tegalsari

Luas tanah itu, dan suasana kampung itu, bisa cocok dengan jiwa Anies. Cocok pula dengan misi hidupnya: bermasyarakat. Soal miring bisa diatasi oleh teman-temannya. Ia banyak punya teman arsitek di Yogya: teman sebangku itu.

Tapi bagaimana dengan gang yang begitu sempit?

Ada jalan keluar —jalannya orang kepepet.

Itu gang buntu.

Anies pun menghitung: ada berapa rumah yang memiliki mobil di gang itu. Tiga orang. Empat kalau ditambah dirinya nanti. Berarti kemungkinan berpapasan sangat kecil. Sesekali tidak apa.

Jadilah.

Biarlah di kampung. Di gang sempit. Itulah kemampuannya saat itu. Yang penting bisa punya tanah di Jakarta untuk kali pertama.

Kakek Anies sebenarnya orang kaya raya. Tuan tanah pula. Kakeknya itu, ketika di Surabaya, disebut raja tanah. Puluhan hektare tanahnya berserakan di pusat kota Surabaya. Sebelum pindah-pindah karena ikut perjuangan merebut kemerdekaan, tanah-tanah itu dibagikan ke lembaga-lembaga sosial. Termasuk tanah luas yang kini menjadi kampus C Universitas Airlangga.

Yang terakhir, justru rumah tinggalnya sendiri yang disumbangkan. Yang di Jalan KH Mas Mansyur, Surabaya. Yang besar dan megah. Ada dua kubah kaca gaya art deco di atasnya: diserahkan untuk dijadikan rumah sakit. Itulah rumah sakit Al Irsyad sekarang.

Harta lainnya banyak dijual untuk membiayai perjuangan kemerdekaan.

Sang kakek lantas hidup berpindah-pindah. Mengikuti arah perjuangan kemerdekaan. Anak-anaknya lahir di banyak tempat —sesuai dengan perjalanan perjuangan.

Ayah Anies, Rasyid Baswedan lahir di Kudus. Saat itu sang kakek lagi jadi redaktur di koran Tionghoa, Sin Tit Po, Semarang.

Sampai pun ketika sang kakek ikut Bung Karno pindah ke Yogya, tidak punya lagi rumah. Sang kakek, A.R. Baswedan, diangkat Bung Karno menjadi salah satu menterinya.

Sebagai menteri, A.R. Baswedan tinggal di rumah pondokan yang diberikan oleh Haji Bilal. Satu rumah untuk beberapa menteri.

Ayah Anies tinggal di rumah kakek pemberian Haji Bilal itu.

Sumber: