Sawo Tegalsari

Sawo Tegalsari

Kasan Besari di pedalaman. Dari 'hasan menjadi kasan saja sudah terlihat jelas: Kasan Besari lebih Jawa. Bukan Habib. Aliran tarekatnya pun sangat dekat dengan kejawen: Syatariyah. Beliau adalah mursyid —dianggap sebagai wasilah nabi— di tarekat itu.

Kasan Besari hidup di tahun 1700-an. Yakni pada masa kerajaan Solo diperintah oleh Pakubuwono II.

Terjadilah pemberontakan di Keraton Solo. Pakubuwono II digulingkan dari takhta. Sang raja menyingkir ke Ponorogo. Untuk minta perlindungan ke kiai terkemuka di Tegalsari. Nama Kasan Besari telah besar —populer sangat sakti, pun sampai di telinga Solo. Kasan Besari menampung dan melindungi sang raja.

Anda pun kini bisa menghubungkan sendiri mengapa ada joglo khusus nun di Tegalsari.

Tapi tidak sesederhana itu. Lebih dari itu. Selama di Tegalsari itulah Pakubuwono menyusun kekuatan. Untuk kembali merebut kekuasaan di Solo. Berhasil. Pakubuwono kembali berkuasa di Solo.

Para pengikut Kasan Besari-lah yang membantu Pakubuwono.

Sang raja tahu balas budi. Pakubuwono menganugerahkan jabatan bupati ke kiai Kasan Besari: ditolak.

Masih ada dua kehormatan lagi yang diberikan ke Kiai Kasan Besari. Dua-duanya diterima.

Pertama, Pakubuwono II memberikan tanah perdikan di Tegalsari. Melebihi hak milik. Tidak perlu membayar pajak.

Kedua, putri Pakubuwono II, diserahkan ke kiai untuk dijadikan istri.

Joglo itu adalah hadiah perkawinan putrinya tersebut.

Setelah itu banyak perubahan terjadi.

Setelah Pakubuwono pulang dari Tegalsari, Keraton Solo tidak lagi mengundang guru. Kebiasaan lama dihapus. Selama itu para pangeran dan putri dididik di dalam keraton. Yakni di keputran (bagi laki-laki) dan di keputren (bagi yang wanita). Guru, ustad, dan pendekar didatangkan ke keraton untuk mengajar.

Sejak berkuasa kembali itu, Pakubuwono II memilih mengirim para pangeran ke Tegalsari. Belajar di sana. Tinggal di sana. Termasuk pelajaran bela diri —seperti pencak silat.

Mereka mondok —tidak pulang pergi.

Sumber: