Sawo Tegalsari

Sawo Tegalsari

Pintu masuk itu serbakayu. Kayu bekas. Kayu kuno. Yang coraknya dibiarkan telanjang. Yang lubang-lubang kayunya ditutup dengan kayu. Tidak dihaluskan, apalagi dicat. "Seluruh bahan bangunan rumah ini tidak ada yang buatan pabrik," katanya. "Kecuali lubang kunci dan engsel," tambahnya.

Pun lantainya. Terbuat dari semen yang dihaluskan dengan tangan —sangat halus, mengilap. Bukan keramik atau tegel tapi hampir tidak kalah halus dengan keramik. "Biayanya mungkin sama. Tidak lebih murah. Tapi komponen untuk tukang, lebih besar daripada harga semen dan campurannya," katanya. "Kalau saja dipasangi keramik, komponen terbesarnya untuk membeli keramik dari pabrik," tambahnya.

Tentu semen itu buatan pabrik. Maksudnya, bukan beli bahan jadi. Lemari dibuat. Meja dibuat. Dinding dibuat.

Saya pun kembali ke halaman joglo. Posisi saya sudah kembali di lantai atas. Tinggal satu lagi agenda saya: melihat pohon sawo kecik. Anies harus menanamnya di halaman joglo itu.

Harus?

Dulu, ketika masih di Tegalsari, joglo ini dijaga oleh pohon sawo kecik. Sekarang pun harus ada yang menjaganya. Hanya saja makna pohon kecik di Lebak Bulus ini sudah berbeda. Anies menanamnya sebagai pengingat. Sedang aslinya, pohon sawo kecik di Tegalsari itu sebagai penanda politik.

Beginilah kisahnya: —jangan-jangan Anda sendiri sudah tahu. Begitu Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda (1830), pengikutnya bercerai berai. Tapi hati mereka tetap satu: menunggu Diponegoro pulang. Lalu bertekad akan bersama-sama lagi bertempur melawan Belanda.

Sangkaan mereka, Diponegoro lagi dinaikkan haji. Begitulah yang dikatakan Belanda: Diponegoro dibawa ke Jakarta untuk seterusnya akan diberangkatkan ke Makkah. Mereka tidak tahu bahwa Diponegoro dibuang ke Tondano, dekat Manado —kecuali mereka yang menyertainya.

Di saat para pengikut tercerai-berai itulah mereka sepakat untuk memiliki penanda seperjuangan: menanam pohon sawo kecik di halaman rumah masing-masing.

Yang mengungsi ke Tegalsari pun menanam pohon itu di dekat joglo.

Sekarang ini masih ada tiga pohon sawo kecik di Tegalsari. Yang dua di dekat masjid. Yang satu di dekat rumah kiai.

Pohon sawo kecik di depan rumah kakek buyut saya, di Takeran, juga masih ada. Berumur lebih 140 tahun. (*)

Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar melalui http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.

Sumber: