Hanya Supervisi Kasus Djoko Tjandra dan Jaksa Pinangki, MAKI: KPK Tak Pede

Hanya Supervisi Kasus Djoko Tjandra dan Jaksa Pinangki, MAKI: KPK Tak Pede

Beberapa di antaranya, kata Fickar, seperti pengakuan Pinangki yang menyebutkan pertemuan dengan Joko Tjandra di Kuala Lumpur, Malaysia, dilaporkan kepada Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Hal ini, menurut Fickar, berpotensi menimbulkan konflik kepentingan bagi penyidik di Kejaksaan Agung yang menangani kasus tersebut.

"Hal ini dipastikan akan menimbulkan kegamangan bagi para penyidiknya. Realitas ini melahirkan conflict of interest (konflik kepentingan)," tutur Fickar.

Belum lagi, sambungnya, rangkaian peristiwa lain yang juga turut muncul selama proses penanganan kasus itu dilakukan juga seakan memunculkan indikasi adanya upaya perlindungan terhadap pelaku lain.

Di antaranya seperti diterbitkannya Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 tentang mekanisme penanganan jaksa yang diduga melanggar hukum harus seizin jaksa agung yang telah dicabut beberapa waktu lalu, rencana pemberian bantuan hukum terhadap Pinangki, kebakaran Gedung Kejaksaan Agung, serta meninggalnya saksi kunci perantara suap.

"Ini jelas menggambarkan situasi konflik kepentingan, dan konflik kepentingan merupakan sumber dan induk dari korupsi. Karena itu cukup dasar dan alasan untuk KPK mengambil alih," tegas Fickar.

Sebelumnya, Pimpinan KPK menerbitkan surat perintah supervisi kasus dugaan korupsi yang menjerat Jjoko S Tjandra dan Jaksa Pinangki Sirna Malasari. KPK juga akan mengundang dua institusi penegak hukum yang menangani perkara tersebut, yakni Kejaksaan Agung dan Polri, untuk melakukan gelar perkara dalam waktu dekat.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan pihaknya telah memerintahkan Deputi Penindakan Karyoto untuk menerbitkan surat perintah supervisi tersebut.

Diketahui, Joko Tjandra menjadi tersangka di tiga kasus, dua di antaranya sangkaan korupsi. Kasus korupsi itu yakni dugaan suap dalam penghapusan red notice dan dugaan suap pengurusan fatwa bebas ke Mahkamah Agung. Kedua kasus itu ikut menyeret sejumlah aparat hukum di instusi Polri dan Kejaksaan Agung serta politikus.

Brigadir Jenderal Polisi Prasetijo Utomo dan Inspektur Jenderal Polisi Napoleon Bonaparte ditetapkan menjadi tersangka suap. Kedua jenderal polisi itu disangka menerima suap terkait surat jalan dan penghapusan red notice Joko Tjandra.

Selain dua jenderal itu, Jaksa Pinangki Sirna Malasari juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan gratifikasi kepengurusan fatwa bebas dari Mahkamah Agung. Pinangki diduga telah menerima suap sebesar USD 500 ribu atau sekitar Rp7,4 miliar setelah berhasil membuat Joko Tjandra menerima proposalnya yang berisi penawaran penyelesaian kasus.

Sementara, mantan politikus Partai NasDem Andi Irfan juga ditetapkan sebagai tersangka. Ia diduga menjadi perantara pemberian uang. (riz/gw/zul/fin)

Sumber: