Sawo Tegalsari

Sawo Tegalsari

Ia bertemu Anies sebagai bagian dari risetnya.

Joglo itu memang sudah NYARIS jadi meja atau kursi —harus ditulis dengan huruf besar.

Rumah joglo itu sudah dibongkar —karena sudah mau roboh. Sudah lebih 30 tahun tidak dihuni. Setelah dibongkar, kayu-kayunya ditumpuk: lama jadi tumpukan kayu yang nyaris dilupakan. Semua kayu jati tua.

Keturunan Kasan Besari di Tegalsari menunggu saja: siapa tahu ada yang membeli —tanpa dipasar-pasarkan.

Pikiran pemiliknya: siapa tahu masih bisa dipotong-potong. Lalu bisa dijadikan bahan untuk meja atau kursi.

Tentu bagian-bagian tertentu dari kayu itu sudah keropos. Atau hilang.

Akhirnya datanglah orang bernama Danang. Anak muda dari Yogyakarta. Ia pemerhati joglo-joglo tua. Ia beli onggokan kayu itu.

Itu tahun 2009.

Danang pun memeriksa kayu-kayu itu. Matanya nanar ketika melihat ada kayu yang sangat panjang: 11 meter. Ia periksa: apakah itu kayu utuh atau panjang karena disambung. Tidak. Kayu itu utuh, tanpa sambungan.

Kesimpulan sementara Danang: pohon yang ditebang dulu pastilah pohon yang sudah tua.

Kecurigaan lain muncul: apakah ada banyak lubang di lonjoran kayu panjang itu. Danang meneliti lebih cermat: benar. Banyak sekali lubangnya. Lubang buatan manusia.

Danang masih penasaran: ada berapa lonjor kayu panjang seperti itu. "Harusnya ada empat," katanya dalam hati. Kalau jumlah itu benar, cocok sekali dengan ilmu yang ia pelajari selama ini: ada joglo biasa, ada joglo khusus, ada juga joglo yang sangat istimewa.

Kalau kayu panjang berlubang banyak itu ada empat, berarti ini bekas rumah joglo yang istimewa.

Maka mulailah tumpukan kayu itu diperiksa: benar, ada empat. Empat lonjor kayu itu disisihkan untuk diperiksa lebih mendalam.

"Inilah kayu yang fungsinya untuk blandar gantung," ujar Danang. Lubang-lubang tadi sengaja dibuat untuk mengaitkan kayu ini dengan bagian-bagian lain konstruksi joglo.

Sumber: