Dianggap Gagal Lacak Djoko Tjandra, Jokowi Harus Pecat Kepala BIN

Dianggap Gagal Lacak Djoko Tjandra, Jokowi Harus Pecat Kepala BIN

Badan Intelijen Negara (BIN) dinilai tak punya kemampuan dalam mendeteksi atau melacak keberadaan Djoko Tjandra. Karenanya sudah selayaknya Presiden Joko Widodo mencopot Kepala BIN Budi Gunawan.

Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mendesak Presiden Jokowi mengevaluasi kinerja Kepala BIN Budi Gunawan yang gagal melacak keberadaan Djoko Tjandra.

"Presiden Joko Widodo harus segera mengevaluasi kinerja Kepala BIN, Budi Gunawan, karena terbukti gagal dalam mendeteksi buronan kasus korupsi, Djoko Tjandra, sehingga yang bersangkutan dapat dengan mudah berpergian di Indonesia," katanya dalam keterangannya, Rabu (29/7).

Dikatakannya, BIN sangat lemah melacak buronan kasus cassie Bnk Bali tersebut. Padahal Djoko begitu mudah ke yurisdiksi Indonesia, mendapatkan paspor, membuat KTP elektronik hingga mendaftarkan Peninjauan Kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ini jelas membuktikan bahwa instrumen intelijen tidak bekerja secara optimal.

"Presiden Joko Widodo segera memberhentikan Kepala BIN Budi Gunawan, jika di kemudian hari ditemukan fakta bahwa adanya informasi intelijen mengenai koruptor yang masuk ke wilayah Indonesia, namun tidak disampaikan kepada Presiden dan penegak hukum," ucapnya.

Dia pun membandingkan pengalaman BIN sebelummya yang sempat memulangkan dua buronan kasus korupsi, yakni Totok Ari Prabowo, mantan Bupati Temanggung yang ditangkap di Kamboja pada 2015 dan Samadikun Hartono di China pada 2016.

"Berbeda dengan saat ini, praktis di bawah kepemimpinan Budi Gunawan, tidak satu pun buronan korupsi mampu dideteksi oleh BIN," ungkapnya.

Berdasarkan catatan ICW sejak 1996 hingga 2020 terdapat 40 koruptor yang masih buron. Lebih spesifik lagi, institusi penegak hukum yang belum mampu menangkap buronan koruptor antara lain: Kejaksaan (21 orang), Kepolisian (13 orang), dan KPK (6 orang).

Lokasi yang teridentifikasi menjadi destinasi persembunyian para koruptor diantaranya: New Guinea, China, Singapura, Hong Kong, Amerika Serikat dan Australia. "Sedangkan nilai kerugian akibat korupsi para buron tersebut sangat fantastis yaitu Rp 55,8 triliun dan USD105,5 juta," katanya.

Jika merujuk pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Petikan Tahun Anggaran 2020, lajutnya, negara telah mengalokasikan anggaran kepada BIN sebesar Rp 7,4 triliun. Anggaran tersebut termasuk Rp 2 triliun untuk operasi intelijen luar negeri.

Selain itu, terdapat alokasi anggaran sebesar Rp1,9 triliun untuk modernisasi peralatan teknologi intelijen. "Besarnya anggaran yang diterima dengan masih banyaknya jumlah buronan yang berkeliaran tidak linear dengan kinerja BIN," pungkasnya. (gw/zul/fin)

Sumber: