Sejarah dan Mitos Desa Jalawastu Brebes, Adat Istiadat yang Masih Dilestarikan dari Dulu hingga Sekarang

Sejarah dan Mitos Desa Jalawastu Brebes, Adat Istiadat yang Masih Dilestarikan dari Dulu hingga Sekarang

BUDAYA - Sejarah dan mitos desa Jalawastu Brebes ini perlu dijaga oleh masyarakat setempat, dan juga diapresiasi oleh generasi muda di seluruh Indonesia.-(Foto: Istimewa)-

Upacara ini mirip dengan tradisi sedekah laut di daerah pantai atau sedekah bumi di dataran rendah, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia yang telah diberikan. 

Selain itu, upacara ini juga dimaksudkan untuk memohon berkah bagi usaha yang akan dilakukan pada tahun berikutnya. 

Pada hari perayaan, masyarakat Jalawastu berkumpul di Pasarean Gedong, dipimpin oleh juru kunci dan para pemuka agama yang mengenakan pakaian putih-putih. 

Ibu-ibu membawa makanan yang akan disajikan pada prosesi upacara. Puncak ritual ini adalah pembacaan doa oleh tiga orang pemuka adat Jalawastu dalam bahasa Sunda Brebes, dilanjutkan dengan makan bersama.

BACA JUGA: Legenda Sejarah Tuk Mudal dan Desa Cempaka, Mbah Camuluk Tancapkan Tongkat Ke Wadas Demi Putri Cempaka

BACA JUGA: Berbentuk Benteng, Sejarah Pasar Pagi di Tegal Dahulunya Menjadi Wilayah Keraton Kerajaan Mataram

Kehidupan dan Keyakinan Masyarakat Jalawastu

Masyarakat Jalawastu hingga kini masih memegang teguh pantangan-pantangan yang ada. Mereka pantang memakan nasi beras dan lauk daging atau ikan. Makanan pokok mereka adalah jagung yang ditumbuk halus, disajikan dengan lalapan, umbi-umbian, petai, terong, sambal, dan dedaunan. 

Piring dan sendok yang digunakan pun terbuat dari seng, karena mereka pantang menggunakan piring dan sendok dari bahan kaca. Mereka percaya bahwa melanggar pantangan-pantangan ini dapat mendatangkan musibah.

Sebelum masuknya agama Islam, mayoritas penduduk menganut kepercayaan Sunda Wiwitan dengan Sang Pencipta yaitu Batara Windu Buana. Ajaran Sunda Wiwitan mengajarkan kasih sayang kepada semua makhluk hidup, baik manusia, hewan, maupun tumbuhan. 

Seiring waktu, ajaran Islam masuk pada abad ke-15 hingga ke-16, dibawa oleh Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga. Bukti akulturasi antara agama Islam dan Hindu masih bisa dilihat dalam tradisi seperti perang centong, yaitu perang dengan senjata berupa sendok nasi dari kayu, yang melambangkan peralihan dari keyakinan lama (Gandasari) ke keyakinan baru (Gandawangi).

BACA JUGA: Sejarah Wayang Cepak Khas Tegal, Warisan Budaya Lokal yang Harus Kita Jaga Sampai Masa yang akan Datang

BACA JUGA: Makna di Balik Pose Patung Kuda di Indonesia, Mengungkap Misteri dan Sejarahnya

Warisan Budaya

Sumber: