Dorong Jokowi Tiga Periode, Sosiolog Unhas Tuding Qodari Ingin Lembaganya Dilirik PDIP di Pemilu 2024

Dorong Jokowi Tiga Periode, Sosiolog Unhas Tuding Qodari Ingin Lembaganya Dilirik PDIP di Pemilu 2024

 Wacana Jokowi tiga periode yang digaungkan JokPro 2024 ditentang sejumlah pihak, termasuk Presiden Jokowi sendiri melalui juru bicara Fadjroel Rachman.

Presiden Jokowi tak ingin terbuai dengan gagasan relawan yang mendorong-dorong dirinya melawan konstitusi. Jokowi menegaskan tetap tegak lurus terhadap amanat Reformasi 1998 dan Konstitusional UUD 1945, terkait dengan masa jabatan Presiden Indonesia.

“Mengingatkan kembali, Presiden Joko Widodo tegak lurus Konstitusi UUD 1945 dan setia terhadap Reformasi 1998. Sesuai Pasal 7 UUD 1945 amandemen ke-1,” papar Stafsus Presiden Bidang Komunikasi M. Fadjroel Rachman dalam keterangan tertulisnya.

Dikutip dari Fajar, berdasarkan Pasal 7 UUD 1945 amandemen pertama menyebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Sosiolog Universitas Hasanuddin Makassar Dr Sawedi Muhammad memandang lahirnya Jokpro sebagai bagian dari politik testing the water. Kelompok ini ingin melihat respon publik apakah mayoritas menerima atau resisten.

“Hal sama dilakukan saat ‘mengerjai’ Partai Demokrat. Mereka berhenti karena respon publik sangat kuat dan menganggap Moeldoko atas dukungan istana melakukan politik tercela dan tidak beradab,” kata Sawedi, Senin (21/6).

Jokpro, beber Sawedi, juga bagian dari gerakan personal Qodari. Ia dianggap tidak banyak pilihan karena telah membuat Indo Barometer bangkrut karena kehilangan klien dan momentum. Untuk bangkit, Qodari butuh langkah extraordinary agar survive dan dilirik kembali untuk mendapatkan legitimasinya yang hilang.

Qodari melakukannya dengan penuh perhitungan. Meski ia sadar amandemen UUD 1945 bukan perkara gampang karena bisa memecah belah bangsa, targetnya adalah agar dilirik PDIP untuk jadi pendamping di Pemilu Serentak 2024.

“Ini bagian dari strategi “market intelligence” lembaga survei agar survive di tengah kompetisi ketat yang saling mematikan,” ungkapnya.

Menurut Sawedi, LSI Denny JA melakukan hal yang sama. Ia baru meluncurkan analisis mengenai “political king/queen” di pemilu serentak 2024. Yang dilakukannya adalah survei pendahuluan yang merupakan strategi marketing agar lembaganya digunakan sebagai pendamping di Pemilu 2024.

“Qodari dan Denny JA keduanya adalah ‘pebisnis politik’. Mereka mengejar klien dengan berbagai cara yang hanya bisa dipahami di level high politics,” tuturnya.

“Bedanya, Qodari menggunakan cara frontal, keras dan menggelegar. Tapi Denny JA menggunakan style dan tata bahasa yang halus dan santun. Keduanya sedang bertarung merebut pasar dengan style yang berbeda,” sambung Sawedi lugas.

Namun, kata Sawedi lagi, ada satu yang mereka lupakan dalam strateginya yaitu variabel Anies Baswedan. Qodari dinilai sudah menutup peluang mendampingi Anies. Ia tegas memilih mengusung ‘ultra-nationalist secular’.

Denny JA, memilih strategi yang lebih moderat. Denny dalam analisis terakhirnya justru secara implisit menegaskan kalau penentu arah politik 2024 adalah pemilih nasionalis-religius, yang tentu saja capres tunggalnya adalah Anies.

Sumber: