Lima Pasal soal Buruh Lenyap Ditelan UU Ciptaker, Pemerintah Klaim Setor Rp6 Triliun untuk Bayar Pesangon

Lima Pasal soal Buruh Lenyap Ditelan UU Ciptaker, Pemerintah Klaim Setor Rp6 Triliun untuk Bayar Pesangon

Ditetapkannya Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) ternyata berimplikasi terhadap keuangan negara. Minimal dari kebijakan yang dibuat, Pemerintah harus menyetorkan sekitar Rp6 triliun guna menutupi program jaminan kehilangan pekerjaan. Ini bagian dari pesangon yang dulu sepenuhnya ditanggung pengusaha.

Parahnya, ada lima pasal yang hilang dari UU sebelumnya. Ini terkait hak buruh yang selama ini menjadi pedoman. Kelemahan UU Ciptaker ini pun sebenarnya sudah disampaikan sejumlah elemen buruh agar, Pemerintah dan DPR duduk sebagai penengah dalam polemik yang terjadi.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto melontarkan kalimat yang bernada menenangkan publik terhadap disahkannya UU tersebut. Padahal sejak awal, BP Jaminanan Tenaga Kerja atau BP Jamsostek sendiri menuai masalah besar. Dari hal investasi dan tidak meratanya perlindungan pekerjaan lantaran terkendala dalam penyetoran iuran Jamsostek

”Pemerintah menjamin kedudukan pekerja. Ini (Rp6 triliun) sebagai Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang berikan manfaat cash benefit dan pelatihan upskilling atau reskilling, serta akses informasi pasar tenaga kerja,” terang Airlangga, dalam rapat paripurna di DPR, Senin (6/10) lalu.

Pernyataan Airlangga ini sebenarnya bukan hal baru. Karena sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang sebelumnya berlaku, besaran pesangon untuk korban PHK maksimal 32 kali gaji sesuai masa kerja.

Ketua Umum Koordinator Nasional Masyarakat Peduli Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (KORNAS MP BPJS), Hery Susanto kepada Fajar Indonesia Network (FIN) menyebutkan, sebelum ada Jaminan Kehilangan Pekerjaan, seluruh pesangon ditanggung oleh pengusaha.

Nah ketika ini suplai kembali dari pemerintah, apakah dana segar Rp6 triliun itu akan kembali ditempatkan di BP Jamsostek. ”Kami berfikir, ini juga harus dipertimbangkan. Karena cepat atau lambat, gelombang PHK babak kedua segera bergulir,” jelasnya.

Dikatakan Hery, ada yang menyambut gembira disahkannya UU Cipta Kerja. Salah satu alasannya, dampak ekonomi dari pandemi Covid-19. ”Tapi problemnya bukan itu. Sejak awal memang ada problem yang sebenarnya harus cepat disikapi oleh pemerintah. Problem itu ada di BP Jamsostek sendiri,” terangnya.

Ia mencontohkan, imbal hasil kepada peserta Jaminan Hari Tua (JHT) yakni sebesar tujuh persen (data bpjstku 2020). Angka imbal hasil ini lebih tinggi sekitar dua persen dibandingkan rata-rata bunga deposito bank pemerintah. Angka tersebut merupakan bentuk tanggung jawab BP Jamsostek kepada pesertanya bukanlah tanggung jawab pihak perbankan.

”Kami sudah menyuarakan itu sejak lama. Tidak tepat jika direksi BP Jamsostek meminta bunga tinggi ke BPD hingga sebesar lebih dari 7% untuk menempatkan dana investasinya, semisal ke Bank DKI. Bunga dari investasi dana BP Jamsostek berupa penempatan deposito ke BPD dengan besaran sesuai BI rate itu sudah bagus. BP Jamsostek jangan meminta bunga deposito terlalu tinggi hingga di atas 7% ke BPD,” paparnya.

Sebab, sambung dia, jika bunga terlalu tinggi hingga di atas 7% pihak BPD pasti akan membebankan lebih besar lagi bunganya ke pihak debitur. ”Dampaknya bisa memberatkan debitur yang meminjam dana ke pihak BPD yang kebanyakan para ASN, UMKM dan lainnya,” papar Hery Susanto yang dipertegas dalam pesannya WhatsApp.

Kasus tidak adanya penempatan dana investasi BP Jamsostek ke Bank DKI pada semester 1 2020 ini menurut Hery Susanto merupakan tidak proporsional dan berkeadilannya direksi BP Jamsostek dalam penempatan dana investasi ke BPD.

Pemerintah harus menyetor modal awal sebesar Rp6 triliun dari APBN untuk program jaminan kehilangan pekerjaan. Bagian dari pesangon yang dulu sepenuhnya ditanggung pengusaha.

Keputusan ini disampaikan DPR dalam Undang-undang atau UU Cipta Kerja. Omnibus law ini mengatur berbagai hal yang terangkum dalam 186 pasal 15 bab. Salah satu yang paling mendapat sorotan adalah mengenai hak pesangon bagi pekerja yang terdampak pemutusan hubungan kerja atau PHK.

Sumber: