Oleh: Marjono *)
DI desa berderet pasar desa, pasar krempyeng, pasar tumpah bahkan ada pasar tiban maupun pasar tradisional yang buka pada hari pasaran tertentu. Pada satu aras pasar bikin desa maju, pada ujung lain pasar juga mengancam desa.
Faktual di lapangan, desa sekarang tak cuma menghadapi pasar yang disebut di atas, rerupa pasar lain pun menyeruak, hampir di sekujur desa. Pertama, desa menjadi pasar makelar proposal.
Hampir jajaran pemerintah dari level Kabupaten/Kota hingga pusat memberikan bantuan ke desa baik dalam bentuk dana maupun alat, teknologi, SDM bahkan material. Untuk mengakses itu, desa paling tidak harus membuat proposal yang informatif yang berisi rincian anggaran biaya dengan bidang yang akan dikerjakannya.
Untuk pembuatan proposal pun, hanya sedikit saja yang bisa menuangkannya. Maka tidak sedikit desa yang justru memborongkan, menjahitkan proposal itu melalui orang-orang tertentu dengan janji atau imbalan tertentu, yang acap disebut makelar proposal.
Hal ini perlu diantisipasi sejak awal, karena mungkin saja kehendak desa dengan kehendak makelar ini berbeda orientasinya, sehingga banyak proposal yang asal jadi dan tidak informatif. Kedua, desa menjadi pasar tenaga kerja kasar.
Sedikitnya peluang dan kesempatan kerja maupun terbatasnya skil masyarakat desa, banyak dari mereka yang tidak percaya lagi kepada desa. Sehingga mereka memutuskan dan memilih merantau menggatungkan hidupnya sebagai tenaga kerja domestik maupun luar negeri.
Provinsi Jawa Tengah menempati pemasok jumlah PMI (pekerja migran Indonesia)/TKI (tenaga kerja indonesia), sebagai 2 besarProvinsi, di bawah Jatim dan di atas Jabar (pikiran rakyat, 16 Juli 2024).
Dengan iming-iming gaji yang cukup besar dan pekerjaan ringan, orang desa lebih gampang terbuai dengan pundi-pundi rupiah yang setiap bulan mekar tanpa berpikir risiko dan dampak lainnya.
Untuk mengatasi ini, barangkali desa perlu dibuat semacam pusat-pusat pertumbuhan baru di desa yang menarik perhatian para potensial tenaga kerja ini. Tentu saja, sebelumnya mereka dibekali dengan pasokan pengetahuan dan diklat tertentu yang menunjang pekerjaannya.
Ketiga, desa menjadi pasar investasi. Rahasia umum berbagai jenis terobosan mulai menjalar ke desa-desa. Ada properti masuk desa, sehingga jual-beli tanah makin ugal-ugalan.
Kemudian ada tanah-tanah desa yang sudah beralih fungsi mejadi pusat pertokoan/pebelanjaan modern. Maka tak heran juga lenyapnya sebagian lahan pertanian abadi di desa, atau lagi munculnya broker proyek pembangunan infrastruktur lainnya yang wira-wiri di desa.
Masifnya investasi abal-abal alias bodong pun mesti diwaspadai di sekitar desa. Tak heran juga kini pasar retail modern sudah banyak mengancam pasar (konvensional) desa. Meminimalkan iklim seperti itu, perlu optimalisasi peran fungsi lembaga kontrol partisipastif dari oleh warga lokal.
Jalan lain bisa ditempuh dengan penerbitan perdes (peraturan desa) yang mengatur lalulitas investasi yang masuk ke desa sebagaimana amanat UU Desa Bab XI kerjasama desa pada pasal 91-93.
Keempat, desa menjadi pasar provider IT. Ada yang biang, tak ada teknologi tak ada masa depan. Maka kemudian membuat banyak penyedia berebut menawarkan perangkat hingga aplikasi di desa-desa.