Penyakit masyarakat yang lebih berfrasa underground ini harus diberantas, karena jika berlarut kemiskinan lebih menganga dan kriminalitas bukan mustahil menaik. Hla ini menjadi tanggungawab bersama semua pihak, terutama keluarga, elit desa , pemuka agama dan masyarakat.
Ketujuh,saat ini angka perkawinan anak mencapai 1,2 juta kejadian. Indonesia menduduki peringkat ke-2 di ASEAN dan peringkat ke-8 di dunia untuk kasus perkawinan anak.
Artinya Indonesia memiliki problematika yang sangat besar untuk kasus pernikahan dini. Kondisi ini tentunya merambah diseluruh wilayah Indonesia, baik itu pada daerah pedesaan maupun daerah perkotaan.
Suka tak suka, fenomena seperti ini terjadi karena adanya berbagai macam faktor-faktor yang mendorong para pelaku untuk melakukan sebuah pernikahan dibawah umur. Menurut Badan Pusat Statistik, disagregasi menurut tempat tinggal menunjukkan bahwa pralevansi perkawinan anak lebih tinggi di daerah perdesaan dibandingkan perkotaan.
Contohnya pada tahun 2018 dengan presentase perkawinan anak di pedesaan mencapai 16,87 persen, sementara diperkotaan pada angka 7,15 persen. Hal tersebut memberikan kesimpulan bahwa anak yang bertempat tinggal di wilayah pedesaan jauh lebih rentan berpotensi melakukan pernikahan usia dini daripada anak yang bertempat tinggal di wilayah pedesaan.
Diakui atau tidak diakui, perkawinan anak sekurangnya hanya melempangkan stunting dan memperparah kemiskinan. Maka praktik ini harus dicegah sejak dini secara bersama keluarga, agama, masyarakat dan pemerintah.
Terakhir, data dari Kemendikbudristek menyebutkan, pada tahun ajaran pendidikan 2022/2023 jumlah anak putus sekolah meningkat dari tahun ajaran sebelumnya. Di tingkat SD mencapai 40.623 orang, tingkat SMP 13.716 orang, tingkat SMA 10.091 orang, dan SMK 12.404 orang.
Pemda gayung bersambut, pada tahun ini, anak tak sekolah (ATS) pun mendapat afirmasi yang prosentasenya cukup bervariasi, agar hak dasar pendidikan mereka terpenuhi. Seperti di Jawa Tengah, untuk jalur afirmasi 20 persen, diperuntukkan bagi 15 persen siswa miskin, 3 persen untuk anak panti, dan ada juga 2 persen untuk anak tidak sekolah (ATS).
Hal ini setidaknya untuk menuntaskan program wajar (wajib belajar) 12 tahun dan melempangan cita-cita anak Indonesia. Begitu merajalelanya pasar yang mengerumuni desa, maka desa harus mampu mengendalikan pasar bukan sebaliknya dikendalikan pasar.
Satu jalan untuk memenangi persaingan pasar, yakni inovasi dan kompetensi.
*) Kepala UPPD Samsat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah