Radartegal.id - Saat kita mendengar nama-nama seperti Tanusudibyo, Pangestu, Atmajaya, Cahyadi, Salim, dan Setiawan, kita mungkin berpikir bahwa mereka adalah orang-orang beretnis Jawa. Lalu kenapa orang Tionghoa di Indonesia kerap menggunakan nama Jawa ya?
Padahal, kenyataannya, banyak dari mereka adalah keturunan orang Tionghoa di Indonesia. Nama-nama ini merupakan hasil dari kebijakan asimilasi yang dipaksakan oleh rezim Orde Baru melalui berbagai peraturan diskriminatif yang dampaknya masih terasa hingga hari ini.
Pada masa kolonial Hindia Belanda, orang-orang Tionghoa di Indonesia mendapatkan perlakuan khusus dari pemerintah kolonial. Mereka dilibatkan dalam banyak urusan ekonomi dan diberikan pemukiman eksklusif yang berdampingan dengan orang-orang Eropa dan Arab.
Sebaliknya, orang-orang pribumi diwajibkan tinggal di wilayah suburban yang terpisah. Berikut kami akan menjelasan penyebab orang Tionghoa di Indonesia kerap gunakan nama Jawa yang kami kutip dari channel Youtube Asumsi. Simak penjelasannya berikut ini.
BACA JUGA: Tokoh Tionghoa, Lieus Sungkharisma Minta Pembenci Anies Belajarlah untuk Objektif
BACA JUGA: Tuding Bang Yos Rasis, Tokoh Tionghoa Desak Grace Natalie dan Charles Honoris Minta Maaf
Era Pasca Kemerdekaan dan Orde Lama
Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1950, di era pemerintahan Presiden Soekarno, orang Tionghoa di Indonesia masih dibiarkan aktif dalam bidang ekonomi dan politik.
Berbeda dengan masa kolonial, orang Tionghoa di Indonesia bahkan diizinkan terlibat dalam politik. Contohnya, Lie Kiat Teng menjabat sebagai Menteri Kesehatan dalam kabinet Ali Sastroamidjojo, dan Oei Tjoe Tat menjabat sebagai Menteri Negara pada Kabinet Dwikora.
Sentimen Anti-Tionghoa dan Orde Baru
Memasuki tahun 1965, terjadi banyak konflik sosial-politik yang menyeret orang Tionghoa di Indonesia ke dalam isu komunisme. Mereka menjadi salah satu target amuk massa yang dipicu oleh kehadiran Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), sebuah organisasi progresif revolusioner yang dianggap mewakili kepentingan Tiongkok di Indonesia.
Pada tahun 1966, Menteri Luar Negeri saat itu, Adam Malik, berpidato di Lapangan Banteng, Jakarta, mengimbau seluruh etnis Tionghoa di Indonesia untuk membuktikan kesetiaan mereka kepada negara.
Namun, pidato ini justru meningkatkan sentimen anti-Tionghoa di Indonesia. Beberapa tindakan mulai dilancarkan, seperti penutupan sekolah-sekolah Cina dan pemulangan orang Tionghoa di Indonesia ke Tiongkok.
Bahkan sebelumnya, pada tahun 1959, warga Tionghoa sudah pernah dipulangkan ke negara leluhur mereka akibat adanya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1959 yang melarang orang Tionghoa berdagang di kabupaten.