RADAR TEGAL - Nelayan di Pantura Jawa dan Pelaku Usaha Perikanan menolak kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT). Pasalnya, dalam prakteknya kebijakan dari Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu justru menambah beban mereka.
Hal itu, disampaikan Ketua Bidang Ketahanan Pangan Maritim Industri dan Perdagangan Dewan Koperasi Kota Tegal, Riswanto belum lama ini. Menurutnya, dia banyak mendapatkan keluhan dari nelayan dan pelaku usaha perikanan di Pantura Jawa terkait PIT.
"Kebijakan PIT mendapat penolakan dari pelaku usaha penangkapan ikan dan nelayan Pantura Jawa dan di Indonesia,"katanya.
Alasannya, kata Riswanto, nelayan di Pantura Jawa merasa menjadi ajang pemaksaan pembayaran denda-denda di luar PNBP. Sebab, dalam prakteknya KKP melakukan ancaman tidak akan menerbitkan SLO dan SPB hingga pembekuan izin usaha jika mereka dianggap tidak patuh.
Baca Juga: 1.500 Nelayan di Tegal Tak Bisa Melaut Akibat Kebakaran Kapal, Bantuan Mulai Mengalir
"Padahal mekanisme di lapangan pengawasan dalam pelaporan secara mandiri sangat ketat dan bersama-sama. Akan tetapi, sering ada perselisihan di lapangan yang berdampak pada keresahan dan tidak kondusifnya usaha sektor kelautan dan perikanan,"tandasnya.
Menurut Riswanto, pelaku usaha penangkapan ikan dan nelayan di Pantura Jawa mengeluhkan kapal mereka yang siap melaut justru ditagih denda puluhan sampai ratusan juta rupiah. Itu, wajib dibayarkan sebelum diterbitkan SLO dan SPB.
"Apabila pelaku usaha tidak memenuhi kewajiban membayar yang katanya denda itu maka kapalnya tidak akan diterbitkan SLO dan SPB. Karena sistem e-pitnya di blok sampai dengan pembekuan izin usaha,"tandasnya.
Riswanto mengatakan seharusnya, kegaduhan itu, mestinya tidak perlu terjadi. Namun karena kebijakan yang dibuat sangat bertolak belakang dengan realita yang terjadi di lapangan.
Baca Juga: Nelayan Tegal Larung 7 Kepala Kerbau ke Laut Jawa
"Permasalahan ini pada akhirnya akan menimbulkan reaksi dan sikap dari kalangan pelaku usaha penangkapan ikan dan nelayan. Utamanya, mereka yang menggunakan kapal di bawah 30 GT,"tandasnya.
Riswanto menegaskan, kapal di bawah 30 GT itu, yang izinnya kewenangan daerah kabupaten/kota dan provinsi kini dibebani dengan kewajiban membayar PNBP dan kewajiban pemasngan VMS. Padahal, sebelumnya, hanya dikenakan retribusi.
"Ini jelas memberatkan, untuk kewajiban VMS saja, harus membayar air time yang harganya mahal ke pemerintah pusat. Ini, dirasakan sangat memberatkan karena terkena beban double pungutan,"ujarnya.
Seharusnya, ujar Riswanto, aturan yang dibuat itu untuk menciptakan iklim usaha di sektor kelautan perikanan yang kondusif. Demi keberlangsungan usaha penangkapan ikan.
Baca Juga: 33 Ribu Nelayan di Wilayah Ini Belum Semua Ikut Asuransi, Padahal Bisa Daftar Mandiri