Sawo Tegalsari

Minggu 02-01-2022,07:55 WIB

Selesai salat Jumat, Anies ngobrol dulu di teras masjid. Secara iseng ia bertanya: apakah di dekat sini ada tanah kosong dijual. Ia tahu diri: hanya mampu membeli tanah di daerah kampung seperti itu. Ia memang sudah bergelar doktor dan sudah menjadi rektor. Tapi itu di Universitas Paramadina —yang tidak punya misi bisnis yang didirikan cendekiawan muslim liberal Prof Dr Nurcholish Madjid.

Anies masih ingat nama orang yang diajaknya ngobrol itu, tapi saya lupa mencatatnya. "Ada. Tidak jauh dari masjid ini," kata orang itu —belakangan Anies tahu profesi orang itu memang jual beli tanah.

Anies ingin langsung melihatnya.

"Jangan sekarang. Panas sekali. Nanti malam saja," jawab orang itu —belakangan Anies tahu itu hanyalah bagian dari trik jual tanah: untuk menutupi kekurangan yang bisa terlihat di siang hari.

Malamnya Anies datang lagi. Memang mengesankan —untuk orang yang punya tabungan pas-pasan. Lokasi ini memang di pinggir gang sempit, tapi luas. Pun dari situ bisa melihat dataran yang lebih rendah di arah sungai Grogol. Meski agak jauh, sungai itu masih terlihat —"di sana itu" kata si penjual tanah di kegelapan. Itulah sungai yang sebelum mencapai laut melewati daerah Grogol di Jakarta Barat.

Siangnya Anies datang lagi tanpa diantar. Ia mengajak istrinya. Kaget. Tanah itu miring drastis. Pinggir gang itu langsung curam. Tapi harganya juga sangat miring. Harga curam. Drastis pula. Rupanya ini adalah tanah yang dihindari banyak pembeli.

Daya tariknya: luasnya 1.800 meter. Harganya hanya sama dengan tanah 250 m2 di perumahan Bona, tempatnya mengontrak.

Sambil memandangi tanah itu Anies ingat Danang, teman satu bangkunya di SMA di Yogya dulu. Saya sendiri ingat rumah Rocky Gerung (Disway 9/10/2021: Pendaki Gerung).

Luas tanah itu, dan suasana kampung itu, bisa cocok dengan jiwa Anies. Cocok pula dengan misi hidupnya: bermasyarakat. Soal miring bisa diatasi oleh teman-temannya. Ia banyak punya teman arsitek di Yogya: teman sebangku itu.

Tapi bagaimana dengan gang yang begitu sempit?

Ada jalan keluar —jalannya orang kepepet.

Itu gang buntu.

Anies pun menghitung: ada berapa rumah yang memiliki mobil di gang itu. Tiga orang. Empat kalau ditambah dirinya nanti. Berarti kemungkinan berpapasan sangat kecil. Sesekali tidak apa.

Jadilah.

Biarlah di kampung. Di gang sempit. Itulah kemampuannya saat itu. Yang penting bisa punya tanah di Jakarta untuk kali pertama.

Kakek Anies sebenarnya orang kaya raya. Tuan tanah pula. Kakeknya itu, ketika di Surabaya, disebut raja tanah. Puluhan hektare tanahnya berserakan di pusat kota Surabaya. Sebelum pindah-pindah karena ikut perjuangan merebut kemerdekaan, tanah-tanah itu dibagikan ke lembaga-lembaga sosial. Termasuk tanah luas yang kini menjadi kampus C Universitas Airlangga.

Tags :
Kategori :

Terkait