Sekolah Tatap Muka Tetap Harus Terapkan Protokol Kesehatan yang Ketat

Sekolah Tatap Muka Tetap Harus Terapkan Protokol Kesehatan yang Ketat

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengingatkan pembelajaran tatap muka (PTM) harus dilaksanakan dengan persyaratan yang sangat ketat.

Mendikbud, Nadiem Makriem mengatakan persyaratan ini agar memungkinkan peserta didik untuk dapat melanjutkan belajar secara tatap muka. Tetapi tetap dengan penerapan protokol kesehatan (prokes) yang ketat.

Prasyarat ketat itu antara lain penentuan pemberian izin PTM tidak lagi didasarkan pada peta zonasi risiko dari Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19, tetapi oleh pemerintah daerah (pemda), kantor wilayah (kanwil) atau Kementerian Agama (Kemenag), dan tetap dilanjutkan dengan izin berjenjang dari satuan pendidikan dan orang tua.

"Untuk pembukaan nanti, tidak harus serentak sekabupaten per kota, tapi bisa bertahap di tingkat kecamatan, kelurahan dan desa. Semuanya tergantung keputusan pemda masing-masing," kata Nadiem di Jakarta, Senin (30/11).

Selain itu, kata Nadiem, satuan pendidikan juga harus memenuhi daftar periksa, termasuk persetujuan dari komite sekolah dan perwakilan orang tua. Karena, orang tua memiliki hak penuh untuk menentukan apakah anaknya boleh masuk sekolah atau tidak.

"Apabila izin tidak diberikan maupun daftar periksa dan persetujuan tidak dapat dipenuhi maka peserta didik akan melanjutkan pembelajaran dari rumah secara penuh. Namun, apabila ketiga tahapan terpenuhi maka peserta didik dapat memulai PTM di satuan pendidikam secara bertahap," terangnya.

Nadiem menuturkan, setelah menjalankan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) selama sembilan bulan akibat pandemi covid-19, banyak persoalan yang menerpa sistem pendidikan secara nasional. Meski diakuinya bahwa PJJ adalah solusi sementara pendidikan di tengah pandemi saat ini.

Namun, di sisi lain PJJ tersebut telah menimbulkan banyak sekali dampak negatif terhadap anak-anak. Lamanya durasi PJJ bahkan disebut sebagai salah satu pemicu terjadinya putus sekolah. Hal itu dikarenakan siswa harus bekerja membantu perekonomian keluarga.

"Memang banyak sekali dampak negatif PJJ ini, bukan hanya kita, tapi negara lain juga. Semakin lama PJJ, dampaknya anak bisa putus sekolah, karena terpaksa membantu keuangan keluarga," ujarnya.

Belum lagi, lanjut Nadiem, Pembelajaran Jarak Jauh juga berdampak pada keberlangsungan tumbuh kembang anak. Baik dari sisi kognitif, pengembangan karakter, maupun perkembangan psikososial para siswa.

"Selama PJJ, tekanan psikososial dan aksi kekerasan terhadap anak juga banyak terjadi dan tidak terdeteksi oleh guru selama PJJ dilaksanakan. Ditambah, ketika dirumah anak mengalami kekerasan dari orangtua tanpa terdeteksi oleh guru," tuturnya.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (MenPPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmavati menambahkan sebelum melakukan pembelajaran tatap muka, sekolah harus melaksanakan 'lima siap' .

"Semua pihak dapat melaksanakan 'lima siap' dalam adaptasi kebiasaan baru di satuan pendidikan, yaitu siap daerahnya, siap sekolahnya, siap gurunya, siap orang tuanya dan siap peserta didiknya," tutur Ayu.

Menurut Ayu, pemenuhan lima siap itu untuk memastikan bahwa warga pendidikan akan terjaga kesehatan dan keselamatannya di lingkungan sekolah di tengah pandemi covid-19.

Sumber: