Sumpah kesumat Gendowor
Begitu sedihnya Gendowor mendapati Adipati Martoloyo meninggal dunia dengan cara yang mengenaskan, dia bersumpah akan menumpas semua Kompeni Belanda. Setelah mengucapkan sumpahnya itu, Gendowor kembali memacu kudanya memburu semua Kompeni Belanda.
Semua orang-orang Kompeni Belanda yang berpapasan dengannya, langsung Gendowor tebas batang lehernya. Puluhan kepala Kompeni Belanda bergelimpangan, dengan darah yang berceceran di seputar pusat Kota Tegal, bekas tempat pertarungan kedua adipati.
Tempat pemenggalan yang mengakibatkan kepala-kepala Kompeni Belanda putus, dan tubuh bergelimpangan itu adalah di sebuah pertigaan di pusat Kota Tegal. Pertigaan itu kemudian dikenal sebagai Gili Tugel, mungkin karena banyaknya Gulu (leher) yang Tugel (putus).
Peristiwa inipun banyak dipentaskan dalam pementasan wayang wong (orang, red). Apalagi cerita epik perang tanding antara Adipati Martoloyo dan Adipati Martopuro ini sangat membekas sebagai kenangan yang mendalam, utamanya bagi warga dan masyarakat di Tegal.
BACA JUGA:Kisah Pengembala Kuda Menjadi Adipati di Tegal, Perseteruan Sengit Gendowor dengan Bagus Suanda
Orang Tegal komunikatif dan apa adanya
Dari sejarah Gili Tugel ini, dapat diketahui bagaimana jiwa kepahlawanan dan heroiknya Adipati Martoloyo mempertahankan kedaulatan wilayahnya dari penjajahan. Bisa jadi sifat dan sikap Adipati Martoloyo inilah yang menitis kepada cucu buyutnya di Kota Tegal.
Sebagaimana diketahui, karakteristik warga Tegal dan sekitarnya mayoritas ramah, bicara apa adanya, ceplas ceplos, dan tidak banyak basa-basi. Dialeknya barangkali kerap dianggap kasar, tetapi menunjukkan keakraban dan persahabatan yang tulus.(*)