RADAR TEGAL - Tegal memiliki berbagai macam latar belakang sejarah panjang, dari zaman kerajaan hingga perjuangan. Di antaranya adalah sejarah Gili Tugel di Tegal yang berada di pusat kota.
Sejarah Gili Tugel berawal saat Amangkurat II memerintahkan Adipati Martopuro untuk memaksa Adipati Martoloyo menghadapnya dalam keadaan hidup atau mati. Adipati Martopuro yang merupakan adik seperguruan Adipati Martoloyo dianggap lawan sepadan adipati Tegal itu.
Adipati Martopuro yang mempunyai kesaktian yang sepadan dengan Adipati Martoloyo pun langsung menuju ke Tegal. Saat berhadapan dengan Adipati Martoloyo, ternyata Adipati Martopuro tidak sampai hati menyatakan maksud tujuannya.
Meski begitu, Adipati Martoloyo tahu apa yang menjadi tujuan adik seperguruannya itu. Adipati Martoloyo pun memberi penjelasan dan nasehat, tetapi tidak tercapai kata sepakat dan justru memicu perselisihan yang berujung menjadi perang tanding.
Sama-sama memperjuangkan prinsip
Adipati Martoloyo tetap berpegang teguh pada idealismenya, untuk tidak mau memihak kepada penjajah Belanda atau VOC. Sedangkan Adipati Martopuro bersikeras menjunjung pengabdian dan kesetiaannya pada rajanya, Amangkurat II.
Pertarungan antar saudara perguruan itupun tidak terelakkan, bukan karena dendam atau permusuhan tetapi menunjukkan jiwa dan etika ksatria. Sebagai adik, Adipati Martopuro bahkan meminta izin untuk menyerang Adipati Martoloyo terlebih dahulu.
Tragisnya tidak ada pemenang dalam pertempuran di pusat Kota Tegal yang kini dikenal sebagai Gili Tugel. Adipati Martoloyo dan Adipati Martopuro pun sama-sama gugur membela prinsipnya masing-masing, dengan saling tikam menggunakan pusaka keris sakti miliknya.
Kedua adipati yang mempunyai kesaktian seimbang itu sampyuh atau meninggal bersama-sama. Adipati Martoloyo meninggal dunia karena tikaman keris ki kasur, sedangkan Adipati Martopuro terkena tusukkan keris Ki Sepuh milik kakak seperguruannya.
Sejarah Gili Tugel jadi saksi bisu
Kematian sampyuh kedua adipati saudara seperguruan yang sakti itu sampai juga ke telinga Gendowor, pengasuh kuda Adipati Martoloyo yang setia. Gendowor pun langsung bergegas meninggalkan tempatnya bekerja mencari rumput untuk kuda-kuda majikannya.
Dengan sabit yang masih terhunus di tangannya, Gendowor menaiki kuda tunggangannya dan memacu sekencang-kencangnya menuju ke pendapa. Sampai di sana, Gendowor melihat rakyat Tegal berjubel-jubel dan menangisi kematian kedua adipati.
Gendowor pun bergegas berjalan menuju pendapa, dan betapa sedihnya dia ketika mendapati junjungannya terbujur kaku sampyuh di samping jasad Adipati Martopuro. Gendowor pun bersimpuh di sisi mayat majikannya.