"Berarti dimulai dari bahan baku memang, karena masalah harga, karena yang farmasi title grade akan jauh lebih mahal dibandingkan kimia biasa," kata Penny.
BACA JUGA:Sabu Sebanyak 3,4 Kilogram Diblender dan Dicampur Air Sabun Seperti Es Jus
"Kimia grade yang bisa digunakan industri-industri non-pharmaseutical, non industri farmasi. Itu sangat murah," tambahnya.
Dengan adanya kimia grade, ditambah dengan tidak adanya pengawasan pemasukan BPOM, maka obat tersebut bisa saja masuk.
Ditambah, pihak produsen bisa menggunakannya secara mix up di supplier kimia tersebut.
"Oleh karena itu, bisa jadi karena tidak ada pengawasan pemasukan Badan POM disini, itu bisa masuk, mereka bisa menggunakan secara sengaja maupun tidak sengaja, tetapi mix up di supplier kimia tersebut," tuturnya.
BACA JUGA:Harga Tembus Rp2.000 Perkilo, Petani Garam di Tegal Kembali Produksi Setelah Sempat Vakum Setahun
Proses pengawasan dari cemaran ini bukanlah tanggung jawab dari BPOM saja, tapi industri farmasinya juga turut bertanggungjawab.
"Ada standar yang tidak ada, mungkin itu yang tidak diketahui," ucap Penny.
Dia tidak menerima terkait kabar yang menggiring BPOM tidak melakukan tindakan atau pengawasan secara ketat terhadap kualitas obat.
BACA JUGA:Motor Listrik Yamaha E01 Resmi Mengaspal di Indonesia, Cek Kecanggihannya
Menurutnya, itulah bukan hanya tanggung jawab BPOM tapi instansi farmasi lain juga turut ikut bertanggung jawab.
"Jadi kalau sekarang ada penggiringan terhadap Badan POM yang tidak melakukan pengawasan secara ketat, itu karena tidak memahami saja dari proses jalur masuknya bahan baku, pembuatan, di mana peran-peran siapa," tandasnya. (*)