Usai kabar tentang isu pencopotannya dari kabinet Jokowi, nama Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir terus mendapat sorotan.
Kali ini terkait dengan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon yang menagih janji Erick Thohir soal bersih-bersih di kementeriannya.
“Erick Thohir berjanji akan melakukan bersih-bersih di kementeriannya. Sebagai orang swasta, ia berjanji akan bekerja keras memulihkan nama baik BUMN,” ujar Fadli melalui siaran pers yang diterima redaksi, Rabu (15/7).
Pada Desember 2019, Erick Thohir memberhentikan seluruh direksi PT Garuda Indonesia. Kebijakan ini membuat orang banyak memujinya sebagai bentuk tindakan bersih-bersih.
Namun, Fadli Zon menilai, pujian itu terlalu dini diberikan. Sebab, memecat direksi yang tertangkap basah melakukan tindak pidana sebenarnya bukanlah sebuah keputusan istimewa.
“Ada orang terbukti melanggar hukum, lalu ditindak. Apa istimewanya?” tutur Fadli Zon dikutip dari Fin.
Fadli melanjutkan, istilah 'bersih-bersih' dalam kamus Bahasa Indonesia sebenarnya tidak ditemukan. Namun, jika dilihat dari penggunaannya, istilah tersebut sebenarnya lebih cenderung bersifat preventif ketimbang kuratif. Artinya, bersih-bersih adalah sebuah tindakan terencana, bukan spontan, untuk mencegah agar hal-hal buruk tak terjadi.
“Merujuk pada pengertian tersebut, sesudah satu semester lewat, saya melihat komitmen Menteri BUMN untuk melakukan tindakan bersih-bersih ternyata sangat lemah, bahkan cenderung mengarah pada hal sebaliknya,” ujar Fadli.
Dia membeberkan, ada beberapa alasan yang membuat BUMN saat ini lemah. Pertama, BUMN membuat preseden buruk dengan mengangkat tokoh partai politik sebagai komisaris BUMN. Menurut Fadli, seburuk-buruknya pengelolaan BUMN di masa lalu, keputusan ini belum pernah terjadi sebelumnya.
“Pengangkatan tokoh parpol sebagai komisaris perusahaan negara jelas brtentangan dgn UU No. 19/2003 ttg BUMN, terutama Pasal 33 huruf (b) jo Pasal 45 Peraturan Pemerintah (PP) No. 45/2005 yg melarang anggota komisaris BUMN merangkap jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan,” papar dia.
Penunjukkan itu juga melanggar Peraturan Menteri BUMN No. Per-02/Mbu/02/2015 yang menyatakan komisaris BUMN bukanlah pengurus partai politik.
“Namun, sejak dilantik jadi menteri pada Oktober 2019, hingga saat ini Menteri Erick setidaknya telah mengangkat 9 orang tokoh parpol sebagai komisaris BUMN, mulai dari Pertamina, Bank Mandiri, BRI, Pelindo I, Hutama Karya, Telkom, hingga PLN," tandas anak buah Prabowo ini.
Kedua, lanjut dia, menteri BUMN juga telah mengabaikan asas kompetensi dan prinsip pembagian kekuasaan dengan memasukkan unsur-unsur aktif TNI, Polri, Badan Intelijen Negara (BIN) Kejaksaan, Kehakiman, serta BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) sebagai komisaris BUMN.
“Penunjukkan semacam ini menurut saya telah mengacaukan sistem, baik sistem meritokrasi di dalam perusahaan negara, maupun mengacaukan sistem tata negara modern yang seharusnya disiplin dengan pembagian kekuasaan,” katanya.
Ketiga, terjadinya rangkap jabatan komisaris BUMN secara massif dan kolosal. Akhir bulan lalu, Ombudsman merilis temuan soal 397 kasus rangkap jabatan di kursi komisaris BUMN dan 167 kasus rangkap jabatan yg terjadi di anak perusahaan BUMN. Angka itu jelas masif dan kolosal.