Di Balik Tragedi Sumatra: dari Tuntutan Status Bencana Nasional hingga Kesadaran Bencana Spritual
--
Oleh: Mohammad Djaya Aji Bima Sakti SAg MAg CPS CEQL*)
Terulang Kembali
Musim bencana kembali melanda negeri dengan kawasan tropis yang tidak hanya terkenal, melainkan ideal. Sumatra—yang selama ini identik dengan kesuburan, kekayaan alam, dan ketangguhan sosial—kini menghadapi keadaan kritis dan mencekam.
Banjir bandang, tanah longsor, dan kerusakan ekologis besar-besaran menimbulkan duka bagi puluhan ribu warga, baik mereka yang terdampak langsung maupun yang menyaksikannya melalui berita-berita yang beredar.
Di antara mereka banyak yang kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, bahkan keluarga tercinta, seperti dikutip dari CNN Indonesia, di Sumatra Utara (Sumut) yang meliputi Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanulis Selatan, Kota Sibolga, Humbang Hasundutan dan Padang Sidempuan serta Pakpak, tercatat jumlah korban jiwa hingga kini mencapai 116 orang dan 42 lainnya masih dinyatakan hilang.
Sementara di beberapa daerah di Aceh mencapai 35 korban meninggal, 25 orang hilang dan 8 luka-luka, belum lagi jika melihat laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencara (BNPB) terkait jumlah korban yang terus bertambah setiap harinya, termasuk di Sumatra Barat (Sumbar).
BACA JUGA: Setahun 3 Kali Banjir, Normaslisasi Kali Jembangan Tegal Dianggarkan Hampir Rp300 Juta
BACA JUGA: Antisipasi Banjir, Pemkot Semarang Kerahkan 200 Petugas Bersihkan Kali
Di antara dampak bencana ini yaitu jalan terputus, jaringan komunikasi lumpuh, dan berbagai wilayah yang tidak dapat diakses, sehingga menyulitkan para petugas, aktivis hingga relawan untuk melaksanakan evakuasi dan memberikan bantuan.
Melaluinya, kita kembali berkabung sebagai bangsa dan sesama manusia, namun rasa duka ini seharusnya tidak berhenti pada simpati dan empati semata—ia harus berubah menjadi gelombang kesadaran yang komunal, bukan sektoral dan sekehendak (dibaca: sesuai kepentingan) masing-masing.
Saban kali bencana besar datang, kita seolah dipaksa untuk menghentikan rutinitas sejenak dan merenungkan sebuah pertanyaan sederhana namun mendasar ‘mengapa ini terjadi?’
Pertanyaan ini biasanya mendapatkan tiga jawaban paling populer: cuaca ekstrem, faktor geologis, dan minimnya mitigasi. Ketiga jawaban itu benar, tetapi belum menyentuh titik terdalam dari akar persoalan. Kita sering mengaitkan bencana dengan alam, padahal alam hanya memberi reaksi bukan penyebab utama.
BACA JUGA: Keluhkan Banjir, Warga Bogares Lor Minta Drainase dalam Reses DPRD Kabupaten Tegal
BACA JUGA: Pedagang di Brebes Keluhkan Pasar Bocor dan Banjir
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:



