Di Balik Tragedi Sumatra: dari Tuntutan Status Bencana Nasional hingga Kesadaran Bencana Spritual

Di Balik Tragedi Sumatra: dari Tuntutan Status Bencana Nasional hingga Kesadaran Bencana Spritual

--

Mari berkaca pada kultur negara ini! Dulu, para leluhur Nusantara memiliki tradisi kosmologi dan etika ekologis yang menjadikan alam sebagai sahabat sekaligus guru. Dalam berbagai tradisi etnik, ada keyakinan bahwa kehancuran alam merupakan pertanda hilangnya kebijaksanaan manusia.

BACA JUGA: Akses Jalan Provinsi di Brebes Sempat Terhambat Akibat Banjir

BACA JUGA: Terendam Banjir di Brebes, Petani Pilih Panen Dini Bawang Merah

Falsafah lama di berbagai suku mengajarkan bahwa hubungan manusia dengan alam bukan hubungan penguasa dan objek, tetapi hubungan penjaga dan amanah. Pepatah-pepatah lokal menyiratkan kesadaran ekologis yang tinggi: “Hutan adalah ibu,” “Gunung adalah penjaga,” “Sungai adalah darah kehidupan.”

Pandangan ini bukan pandangan yang murni teologis ataupun mistis, tetapi etika dan moralitas. Dan keduanya menghilang, lenyap pula cita-cita modernitas peradaban. 

Mengutip salah satu artikel dalam sebuah surat kabar, Mimi Kartika menyebutkan bahwa kesadaran kultur dan budaya telah mengakar pada kehidupan masyarakat Kalimantan Barat, tepatnya Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu.

Melalui diskusi virtual, Kartika menyimpulkan bahwa di daerah-daerah rural, anggota masyarakat adat telah membangun tradisi menjaga, memelihara dan memperhatikan keberlangsungan alam, kurang lebih demikian kesimpulan yang dapat dilihat dalam artikel berjudul “Hutan adalah Bapak dan Tanah Itu Ibu Kami”.

BACA JUGA: Pasca Banjir di Brebes Selatan, 4 Sekolah Diliburkan Sementara

BACA JUGA: Korban Meninggal Akibat Banjir di Brebes Selatan Jadi Tiga Orang

Selain itu, bukti bahwa tradisi dan adat merupakan instrumen etika lingkungan dapat dilihat juga dalam beberapa pepatah lainnya, Dina Amalia Susamto menyebut bahwa konstruksi kesadaran sosial bermula dari beberapa ungkapan-ungkapan tradisional. Melaluinya struktur sosial lantas membentuk pelembagaan kebiasaan atau habituasi, sebuah kesadaran yang jika diobservasi mendalam ke berbagai daerah sudah banyak disadari, namun belum secara masif direalisasikan.

Tersisa pertanyaan, jika demikian, mengapa bencana berkaitan dengan tata kelola alam tersebut masih terjadi? Tentu kita tidak dapat bertanya pada rumput yang bergoyang, melainkan berpikir agak kritis pada faktor-faktor regulasi dan kebijakan.

Sikap Pemerintah: Telaah Moral dan Spiritual

Beberapa waktu yang lalu, saya melihat beberapa hal tersiar ditengah masyarakat –bahwa kabar berkaitan dengan regulasi eksploitasi alam semakin menunjukkan bahwa paradigma pemerintah cenderung delevopementalis (meski tidak seutuhnya).

Maka dari itu, wajar jika kemudian pengembangan (dibaca: pembangunan) didefinisikan semata-mata sebagai pertumbuhan ekonomi, tindak eksploitasi dianggap sebagai evidence (bukti nyata) sebuah kemajuan, tanpa pertimbangan keseimbangan dan keberlangsungan. Bagi paradigma ini, semua yang bisa dijual harus dijual, semua yang bisa diekstraksi harus diekstraksi, semua yang bisa dibuka harus dibuka.

BACA JUGA: Pasca Banjir di Brebes Selatan Warga Bersihkan Lumpur Tebal

BACA JUGA: Dua Orang yang Terbawa Arus Banjir di Brebes Selatan Ditemukan Meninggal Dunia

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: