Mitos Jembatan Sewo Subang, Sosok Penari Ronggeng yang Menjadi Buaya Putih

Mitos Jembatan Sewo Subang, Sosok Penari Ronggeng yang Menjadi Buaya Putih

Ilustrasi: Warga menunggu pengendara memberi sederkah dengan melempar koin ke Jembatan Sewo-ANTARA|Dedhes Anggara-

RADAR TEGALMitos Jembatan Kali Sewo. Misteri jembatan kali sewo. Jika kalian melewati jalur pantura antara Subang dan Indramayu, kalian akan menemukan hal menarik di jembatan bernama Jembatan Sewoharjo, atau yang lebih dikenal sebagai Jembatan Sewo.

Setiap hari, baik siang maupun malam, banyak orang berada di pinggir jalan dengan membawa sapu lidi panjang. Mereka mencari rejeki dengan mengais uang recehan yang dilemparkan oleh para pelintas jalan atau jembatan.

Ada kepercayaan bahwa memberikan receh di Jembatan Sewo akan membantu mereka terhindar dari marabahaya. Dua mitos yang diyakini menyebabkan banyak pelintas jalan selalu melemparkan uang receh saat melewati jembatan Sewo.

BACA JUGA:Cerita Dibalik Situs Watu Lumpang Pemalang, Kisah Pengkhianatan dari Cinta yang Tulus

Mitos jembatan sewo

Cerita Saedah dan Saeni menceritakan tentang dua saudara kembar yang awalnya menjadi penari ronggeng, namun akhirnya mengingkari perjanjian dan berubah menjadi buaya putih.

Ayah mereka, Sarkawi, sebenarnya memiliki rencana untuk menunaikan ibadah haji. Namun, di tengah perjalanan, dia tergoda oleh seorang perempuan bernama Maemunah.

Sarkawi dan Maemunah akhirnya menikah secara diam-diam tanpa sepengetahuan keluarga mereka di rumah. Sayangnya, isteri Sarkawi di rumah sedang sakit keras dan akhirnya meninggal dunia.

Akhirnya, Sarkawi memperkenalkan isteri mudanya kepada kedua anaknya, yaitu Saedah dan Saeni. Lama-kelamaan, isteri mudanya bisa berakur dengan kedua anak tersebut.

BACA JUGA:Mitos Kali Pemali Brebes, Menguak Istana Lelembut Konon Dihuni Ular Berkepala Kerbau dan Buaya Putih

Misteri keluarga sarkawi

Saat Sarkawi pergi mencari nafkah, Maemunah juga pergi ke pasar. Sebelum berangkat, Maemunah mengingatkan agar tidak menggunakan uang dan beras yang ada di atas meja. Namun, karena lapar, Saedah memasak beras yang ada di atas meja.

Ketika ibu tirinya kembali dan melihat hal itu, dia sangat marah dan mencaci maki keduanya. Karena tidak tahan dengan perkataan ibu tirinya, Saedah dan Saeni memutuskan pergi dari rumah.

Merasa bersalah, Maemunah akhirnya mengajak kedua anak tirinya berjalan-jalan ke kota. Namun, nyatanya, ibu tirinya memiliki niat jahat untuk membuang kedua anak tersebut ke hutan.

Kedua anak itu ditinggalkan di tengah hutan sementara ibu tirinya pergi meninggalkan mereka. Tiba-tiba, seorang kakek tua datang dan memberikan petunjuk kepada Saeni bahwa dia akan menjadi penari ronggeng ternama, tetapi harus ada perjanjian dengan kakek tersebut.

BACA JUGA:Dibuat Wali Hanya Satu Malam, Masjid Tukul di Tegal Jejak Peradaban Islam di Pesisir Pantura Jawa

Saeni kemudian menjadi penari ronggeng terkenal di daerah sekitar. Namun, akhirnya dia berubah menjadi buaya putih dan menceburkan diri ke Kali Sewo karena kelalaiannya.

Mendengar hal ini, ayahnya menceburkan diri ke Kali Sewo untuk mencari anaknya. Maemunah yang merasa bersalah juga frustasi dan menceburkan diri ke Kali Sewo.

Sementara itu, Saedah kakaknya terus menunggu di pinggir jembatan sampai akhirnya berubah menjadi bambu.

Tempat menceburkan diri Sarkawi diberi nama Balai Kambang, dan tragedi tersebut membuat masyarakat percaya bahwa penghuni Kali Sewo adalah penjelmaan keluarga Sarkawi, Maemunah, dan Saeni si penari ronggeng.

Oleh karena itu, banyak pelintas yang memberikan uang receh saat melewati jembatan Sewo sebagai tolak bala dan nyawer Saeni.

BACA JUGA:Kisah Kekalahan Gendowor, Menyisakan Kisah Pilu dan Mengabadikannya dengan Nama Desa Kedokan Sayang

Mitos tragedi kecelakaan

Ada juga yang percaya bahwa mitos Jembatan Sewo terkait dengan kejadian tragis di masa lalu. Pada tanggal 11 Maret 1974, terjadi kecelakaan memilukan di jembatan tersebut.

Sebuah bus transmigran dari Boyolali, Jawa Tengah, tiba-tiba terperosok dan terbakar saat melintas jembatan. Sebanyak 67 penumpang tewas, hanya tiga bayi yang selamat.

Semua korban kecelakaan tersebut dimakamkan dekat Jembatan Sewo, dan didirikan tugu Pahlawan Transmigrasi sebagai penghormatan kepada mereka.

Sejak itu, menjadi tradisi bagi supir dan penumpang yang melewati Jembatan Sewo untuk melemparkan uang recehan sebagai penghormatan kepada korban kecelakaan.

BACA JUGA:Sejarah Wayang Cepak Khas Tegal, Warisan Budaya Lokal yang Harus Kita Jaga Sampai Masa yang akan Datang

Masyarakat sekitar jembatan juga memanfaatkan momen ini, sehingga setiap hari selalu ada orang yang menunggu di jembatan tersebut.

Demikian informasi tentang mitos jembatan sewo, dengan adanya mitos tersebut saya harapkan selalu menjaga iman dan selalu bertakwa keapada Allah SWT agar tidak timbul kesyirikan di kalangan masyarakat setempat.

Temukan banyak informasi mitos lainnya, hanya di radartegal.disway.id. Semoga membantu dan bermanfaat.(*)

Sumber: