Disindir Prof Jimly Asshiddiqie, Begini Jawaban Menohok Yusril Ihza sambil Bawa Budaya Batak dan Sunda
Sindiran mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Prof Jimly Asshiddiqie kepada Prof Yusril Ihza Mahendra direspons ahli hukum tata negara yang juga advokat itu.
Yusril bahkan balik menyindir dengan kalimat-kalimat yang menohok. Saat ini, dalam kapasitasnya sebagai advokat, Yusril diketahui sedang mengajukan uji formal dan materiel terhadap AD/ART Partai Demokrat ke Mahkamah Agung (MA).
Yusril mewakili empat mantan kader partai berlambang mercy biru yang sebelumnya dipecat DPP PD di bawah kepengurusan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Yusril menanggapi sindiran Jimly soal etika kepantasan dalam bernegara dan advokat yang jadi pengacara saat menggugat AD/ART partai lain.
Yusril mengulas panjang lebar tentang esensi etika kepantasan, yang disebutnya sebagai etika kepantasan, bukanlah norma fundamental. Menurut Yusril, etika kepantasan yang disebut Jimly tidak lebih dari norma sopan santun.
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu lantas mengungkit saat Jimly masih menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. “Prof Jimly beberapa kali menguji UU yang justru MK dan hakim MK berkepentingan dengan UU yang diuji itu,” ucap Yusril.
“Berapa banyak hal itu dilakukan semasa Prof Jimly jadi Ketua MK?” tanya Yusril menyindir Jimly seperti yang dikutip dari pojoksatu.id.
Berikut ini tulisan lengkap Yusril Ihza Mahendra yang menanggapi sindirian Jimly, Sabtu (2/10) kemarin.
Dalam filsafat, norma etik adalah norma fundamental yang melandasi norma-norma lain termasuk norma hukum, sehingga norma hukum yang bertentangan dengan norma etik seharusnya dianggap sebagai norma yang tidak berlaku.
Tetapi apa yang dibicarakan Prof Jimly adalah “etika kepantasan”, soal pantas atau tidak pantas, yang secara filosofis bukanlah norma fundamental seperti dibahas Immanuel Kant atau Thomas Aquinas dalam Summa Theologia atau dalam tulisan-tulisan Al Ghazali.
Norma “etika kepantasan” yang disebut-disebut Prof Jimly itu tidak lebih dari norma “sopan santun” yang bersifat relatif dan sama sekali bukan norma fundamental dan absolut sebagaimana dalam norma etik.
Jika ada orang Batak bertamu ke rumah orang Sunda dan dia menyodorkan tangan untuk bersalaman dengan orang tuan rumah, maka gaya dan tatacara dan bersalaman tamu orang Batak itu mungkin tidak sesuai dengan “etika kepantasan” orang Sunda. Tetapi tamu orang Batak itu bukan orang jahat.
Lain halnya jika tamu itu pulang, maka sendok garpu tuan rumah dia kantongi diam-diam. Pencurian adalah pelanggaran norma etika (spt disebut dalam Ten Commandements dan Mo Limo dalam falsafah Jawa).
Soal “etika kepantasan” yang disebut Prof Jimly bukan hal fundamental.
Norma sopan santun itu konvensional, bahkan kadang tergantung selera untuk mengatakan pantas atau tidak pantas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: