Tayangan Film G30S PKI Bukan untuk Membuka Luka Lama, Sukamta: Agar Kita Tidak Lupa
Anggota Komisi I DPR RI Sukamta mengingatkan peristiwa 30 September 1965 sebagai upaya kudeta pemerintahan Republik Indonesia oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Saat itu, kata Sukamta, PKI mencoba merongrong ideologi Pancasila. Film tentang G-30 S-PKI yang sempat tidak ditayangkan lagi, kini didorong agar diputar kembali.
“Peristiwa G-30 S-PKI merupakan sejarah kelam bangsa kita. Generasi sekarang dan yang akan datang tidak boleh lupa akan sejarah ini. Karenanya kami mendorong TVRI perlu memutar kembali film tersebut sebagai pengingat sejarah,” ungkap Sukamta, Rabu (29/9).
Ia menegaskan komunisme menjadi ancaman bagi kedaulatan bangsa. Hal tersebut merupakan amanat UU RI No. 23 tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (PSDN).
Sukamta juga menjelaskan beberapa hal dikhawatirkan dapat menghilangkan sejarah yang pahit tersebut dari memori bangsa. Di antaranya penghapusan kata ‘PKI’ dalam G-30S dari buku-buku pelajaran sejarah di sekolah.
Sempat juga ada wacana penghapusan TAP MPRS No. XXV tahun 1966 tentang pelarangan ajaran komunisme, Marxisme, Leninisme. Ia melanjutkan, pemutaran film bukan ingin membuka luka lama.
Juga bukan ingin menimbulkan kebencian di tengah masyarakat. Tapi hanya agar kita tidak lupa.
"PKI dulu telah melakukan pembantaian terhadap rakyat Indonesia. Khususnya kalangan agamawan, bahkan jenderal-jenderal kita juga menjadi sasaran penculikan dan pembunuhan dengan isu Dewan Jenderal. Namun upaya kudeta ini tidak berhasil. Pemerintah setelah peristiwa itu melakukan penumpasan terhadap PKI dengan melakukan penangkapan dan eksekusi terhadap para anggotanya,” paparnya.
Sukamta menegaskan mungkin saja kita bisa memaafkan sejarah kelam tersebut, tapi tentu tidak boleh melupakan. Supaya peristiwa serupa tidak terjadi pada masa datang.
“Kita juga bukan anti dengan negara komunis. Toh kita juga bekerja sama dengan negara-negara komunis selama ini. Yang kita anti adalah ajaran-ajaran komunis yang tidak berketuhanan merasuk ke dalam pikiran bangsa kita. Ajaran anti-tuhan tersebut jelas bertentangan dengan jati diri bangsa yang berketuhanan yang terkandung dalam Pancasila,” terang Sukamta.
Karena itu, imbuhnya, di tengah situasi kondisi bangsa dan geopolitiknya seperti sekarang, termasuk konstelasi di Laut China Selatan, kita tidak boleh lupa dengan peristiwa tersebut. Terlebih sepertinya posisi Indonesia sekarang mirip dengan saat terjadi G-30 S-PKI dulu.
“Saat itu Indonesia berada di tengah-tengah konstelasi blok Barat dan blok Timur. Rebutan pengaruh 2 blok tersebut antara demokrasi-liberalisme dan komunisme tergambar dalam G-30 S-PKI,” pungkasnya.
Sekarang pun mirip-mirip, posisi Indonesia secara geopolitik dan geostrategis berada di tengah pusaran konflik antara China dan AUKUS (Australia, United Kingdom, Amerika Serikat).
“Nah, dalam perspektif inilah kita merefleksikan perisitwa sejarah. Sekarang dengan adanya blok China dan blok AUKUS sedikit banyak berpotensi bisa meningkatkan manuver dan ketegangan di wilayah Indonesia. Tentu ini bisa menjadi ancaman bagi bangsa kita yang perlu diwaspadai,” kata doktor lulusan Inggris ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: