Tidak Terdokumentasi, Lahan LIK Takaru Menjadi Temuan BPK
Lahan LIK Takaru milik Pemkab Tegal menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jawa Tengah. Hal ini karena status pemanfaatan lahan di Lingkungan Industri Kecil (LIK) Takaru tidak terdokumentasi.
Sekda Tegal Widodo Joko Mulyono, Selasa (22/12) menyatakan, status pemanfaatan lahan LIK Takaru di Jalan Raya Pantura Dampyak, Kecamatan Kramat Kabupaten Tegal, menjadi temuan BPK Jawa Tengah. Karena disinyalir status lahan di kawasan tersebut tidak terdokumentasi. Sehingga BPK meminta agar Pemkab Tegal melakukan penataan kembali. Penataan itu ditindaklanjuti Pemkab Tegal dengan menggelar rapat yang dipimpin dirinya didampingi Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinnaker) Nur Ma'mun dan Kabid Aset BPKAD Asta Sediyadi.
Rapat yang digelar di Aula LIK itu, menghadirkan seluruh pemilik bangunan LIK yang mayoritas para pengusaha Industri Kecil Menengah (IKM).
"Rapat ini dilakukan untuk menyamakan persepsi dan pemahaman tentang tanah milik pemkab seluas sekitar 8,8 hektare di LIK Takaru," katanya.
BPK meminta untuk dilakukan penataan aset, tambah Widodo Joko Mulyono, karena selama ini tidak ada dokumennya.
LIK Takaru mulai dibangun pada tahun 1981 oleh dua kontraktor PT Dwi Tunggal Surya Jaya dan PT Eka Muda. Dokumen penunjukkan dua kontraktor untuk membangun LIK ditemukan dan ditandatangani bupati Tegal. Namun, untuk perjanjian kontrak kepemilikan gedung dan lahan tidak ada dokumennya. Meski demikian, tanah itu sepenuhnya milik Pemkab Tegal yang dibuktikan dengan sertifikat.
"Ini yang menjadi temuan BPK. Makanya, BPK minta untuk segera diselesaikan,” tambahnya.
Para pemilik bangunan, lanjut Widodo Joko Mulyono, bisa membantu untuk proses administrasi dokumen kepemilikan bangunan tersebut. Pemkab berharap agar pemilik bangunan sepakat untuk titik nol. Artinya, 56 bangunan yang ada di LIK bisa diserahterimakan ke Pemkab Tegal.
Untuk proses selanjutnya seperti tarif sewa dapat dimusyawarahkan kembali agar para pemilik gedung tidak keberatan. Jika menggunakan sewa dasarnya dengan NJOP. NJOP wilayah itu Rp5,6 juta, tetapi para pemilik bangunan menawar Rp3 juta.
Dirinya akan konsultasi ke BPK, apakah nilai itu patut atau tidak. Jika masih keberatan, maka bisa menggunakan retribusi. Selama ini, retribusi yang diterapkan Rp2 ribu permeter.
Sementara itu, salah satu pemilik gedung di LIK Takaru, Jenudin mengaku, dalam rapat itu sebagian besar pemilik bangunan sepakat untuk penyerahan aset ke Pemkab Tegal. Namun, ada beberapa pemilik yang meminta untuk mempelajari proses serah terima aset bangunannya. Utamanya bagi pemilik yang gedungnya dibangun dengan biaya pribadi.
Permasalahannya, ada yang membangun gedung sendiri, pakai uang sendiri. Proses pembangunan dilakukan pada tahun 2000 sekian. Bukan pada tahun 1981 yang dilakukan oleh dua kontraktor itu.
Menurutnya, apabila gedung itu dibangun sendiri, bagaimana proses sewanya. Apakah bangunannya juga akan diserahkan ke pemkab. Apakah sewa atau retribusinya disamaratakan dengan bangunan yang lama.
"Mestinya, tarifnya dibedakan. Parahnya lagi, ada salah satu gedung yang baru dibangun dan belum ditempati. Tentunya pemilik gedung itu juga belum mendapatkan hasilnya karena gedungnya masih baru. Yang seperti itu bagaimana, apakah mau diserahkan juga ke pemkab," tanya dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: