Lahir di Lingkungan Pesantren sebagai Perempuan, Amalia Kini Berubah Menjadi Pria

Lahir di Lingkungan Pesantren sebagai Perempuan, Amalia Kini Berubah Menjadi Pria

Sejumlah psikolog justru membuatnya semakin tersesat. Hingga di 2016 dia menemukan bantuan atas masalahnya.

“Sejak 2014, tiga kali bertemu psikolog, dari Kendal ke Semarang dan Jogjakarta. Sayangnya mereka transphobic dan justru menceramahi saya. Pada 2016, di Jogjakarta, Alhamdulillah akhirnya bertemu psikolog yang bisa mengidentifikasi masalah saya,” tuturnya. 

Amar pun menjalani observasi selama enam bulan. Hasilnya, dia didiagnosa mengidap dysphoria gender. Yaitu, kondisi di mana identitas gender tidak sesuai dengan genitalia. Amar merasa lega, pertanyaannya selama ini terjawab sudah. Amar lantas menjelaskan keadaannya kepada kedua orang tua. 

Amar bersyukur karena Ayah dan Ibunya menghargai pilihan Amar. Meski sebelumnya terjadi perdebatan yang tak berujung, baik Amar dan orang tuanya memilih bertemu di titik tengah. 

“Saya bersyukur karena mereka masih menganggap saya sebagai anak dan memperhatikan hak-hak saya. Saya tidak diusir, ibu saya juga lega karena saya sudah mau cerita,” ujarnya. 

Tentu bukan hal mudah menerima kondisi Amar. Ayah dan ibunya adalah Kiai dan Bu Nyai, pengasuh pondok pesantren. Ibunya sering menerima cemoohan tentang kondisi anaknya. Ning Amalia yang dulu memakai kerudung, bertransformasi menjadi Gus Amar, berkopiah dengan jambang lebat di wajahnya.

Amar pun tak henti meyakinkan dan memberi pemahaman. Amar menjelaskan jika yang dilakukannya diakui dan dihargai dalam Islam. Berikutnya, orang tuanya mulai menerima kondisi anak bungsu dari tiga bersaudara itu. Keduanya saling menghormati dan mendukung. Bahkan saat Amar melakukan sidang pergantian nama, orang tua dan kakak Amar hadir untuk memberi kesaksian. 

“Saya dengar penjelasan kiai kalau yang dilihat Allah itu ketakwaan kita, bukan gender kita. Saya juga sering diskusi dengan tokoh Islam yang humanis dan menghargai keberagaman. Orang tua saya sendiri alhamdulillahnya tidak memaksa pun menyerang,” kisahnya. 

Kedua orang tuanya pun menjadi pendukung terbesar bagi Amar. Mereka menyayangi Amar dengan kasih sayang yang tak henti. Selalu mendengarkan kisah anaknya, pun terbuka dengan apa yang mereka pikirkan terhadap Amar. Dia mengingat, suatu saat ibunya sempat menyampaikan keinginannya agar Amar kembali menjadi perempuan. Laki-laki yang merupakan anak ketiga itu menjawab dengan santai. 

“Waktu itu ibu bilang, Ibu boleh kan doakan kamu sebagai perempuan? saya menjawab, boleh Bu, itu hak Ibu. Saya juga punya hak untuk saya sendiri. Yang penting kita saling menghargai dan menghormati dan tetap menerima satu sama lain,” katanya.

Juni lalu, Amar membagikan kisah pencarian dirinya lewat sebuah utas di Twitter. Unggahan itu kini telah diretweet lebih dari 12 ribu kali dan disukai sedikitnya oleh 35 ribu akun. Lewat kisahnya, laki-laki yang masuk dalam jajaran kaum minoritas itu mengaku ingin menginspirasi dan mengedukasi orang lain, tentang keberagaman gender. Meski tak mudah, dia mengaku lebih beruntung dibanding orang lain yang tak mendapat dukungan dari orang tuanya sendiri. Dia berharap, sedikit kisahnya mampu menggerakkan empati warganet pada kelompok gender minoritas, dan mengikis berbagai ancaman serta kekerasan yang banyak dialami oleh kaumnya.   

“Saya ingin mengedukasi masyarakat tentang keberagaman gender. Saya beruntung orang tua saya mendukung menjadi transman, tetapi di luar sana banyak yang tidak. Ada yang sampai diruqyah, diusir, bahkan diperkosa,” katanya. 

Amar mengaku, kendati ada komentar negatif dari warganet, dia tetap bersyukur. Sebab ada banyak warganet yang memberikan dukungan dan penyemangat baginya. (ngopibareng/jpnn/ima)

Sumber: