Untuk fakta lapangan yang menjadi kendala para tenaga honorer disampaikan oleh wakil ketua aliansi Bagus Setiawan Sugiarto yang sudah bekerja di Puskesmas Bumijawa selama delapan tahun.
Bagus menuturkan, informasi tentangnya seleksi CASN/PPK tidak tersebar secara merata sampai daerah sehingga tenaga honorer tidak mendapat pemahaman yang cukup.
“Sosialisasi tentang seleksi PPPK Tahap II baru diketahui setelah banyak dari honorer yang sudah terlanjur mendaftar CPNS. Hal ini membuat kesempatan mengikuti PPPK hilang karena sistem tidak mengizinkan pendaftar ganda,” ucap Bagus.
Menurutnya, akibat dari informasi yang tidak sampai ke daerah secara merata terkait pembukaan PPPK Tahap II, sejumlah pemerintah daerah secara tidak langsung mendorong tenaga honorer non database untuk mengikuti CPNS.
Bagus berharap tenaga honorer dalam database yang gagal dalam seleksi CPNS tetap diberi peluang untuk di akomodir dalam skema PPPK paruh waktu.
“Adapun di daerah/kabupaten/kota lain diluar sana banyak tenaga honorer non-database yang telah mengikuti seleksi CPNS akhirnya diberhentikan atau dirumahkan oleh instansi daerah karena tidak adanya regulasi yang mengatur keberlanjutan status mereka pasca seleksi,” lanjut Bagus.
Banyak tenaga honorer non-database yang telah mengikuti seleksi CPNS dialihkan ke sistem outsourcing akibat tidak adanya regulasi yang mengatur keberlanjutan status kepegawaian mereka, tambahnya.
“Pengalihan ini memiliki kelemahan signifikan, antara lain ketidakpastian status kerja, minimnya perlindungan hukum, serta potensi penurunan kualitas pelayanan publik. Selain itu, gaji yang diterima tenaga outsourcing cenderung lebih rendah dibandingkan honorer langsung,” tegas Bagus.
"Ini sebuah catatan untuk Pemerintah Kabupaten Tegal untuk tidak meniru apa yang terjadi di kabupaten/kota lain." Tambah Bagus
Menanggapi aspirasi yang telah disampaikan pihak aliansi, Kepala Bidang Pengadaan, Pemberhentian, Informasi Kepegawaian (PPIK) BKPSDM Tri Priyo Laksono, S.Kom., M.Si. menyampaikan bahwa langkah aliansi yang menyampaikan aspirasi ke KemenPAN-RB sudah benar karena terkait pengadaan ASN adalah kebijakan mandatori dari pemerintah pusat.
"Semua regulasi, aturan main dan ketentuan diatur oleh pusat, pemerintah daerah tidak diberi ruang untuk mengatur proses pengadaan ASN termasuk jadwalnya," ungkap Tri Priyo.
Jadi pemerintah daerah hanya melaksanakan saja, tetapi pihaknya sangat mendukung apa yang telah disampaikan pihak aliansi.
"Ini menjadi catatan dan semua aspirasi pasti akan kami sampaikan ke pimpinan hingga bupati," tegasnya.
Sekretaris DinKes Moch. Nurhuda menyampaikan bahwa yang mengusulkan formasi memang dari DinKes tetapi tetap mengacu pada ketentuan KemenKes.
"Kami di DinKes hanya berwenang untuk tenaga kesehatan dan itu pun dibatasi, kami hanya mengutamakan sembilan tenaga kesehatan "waji" yang wajib ada di puskesmas," ujar Huda.
Sementara itu, anggota Komisi 1 Hj. Sri Lestari berharap kegiatan hari ini bisa menghasilkan titik temu yang terbaik bagi semua pihak.