RADAR TEGAL - Perang Paregreg yang melanda kemaharajaan Majapahit membawa kemalangan berturut-turut pada rakyat sehingga beberapa candi dibuat untuk meruwat kembali negeri tersebut. Salah satunya adalah Candi Cetho.
Candi Cetho berlokasi di Gunung Lawu, yang diduga memang banyak digunakan untuk lokasi pertapaan, karesian, hingga kadewaguruan. Peninggalan-peninggalan arkeologis tersebut memang marak di masa akhir Majapahit.
BACA JUGA:2 Pemberontakan Budaya di Candi Kethek, Bangkitnya Kembali Agama Pra-Hindu
Candi Cetho sendiri masih bersaudara dengan Candi Sukuh karena sama-sama menggambarkan sosok Durga Ranini, dewi India, yang perlu diruwat. Dalam hal ini, kembali suci ke agama asli Nusantara.
Pada kesempatan kali ini, radartegal.disway.id akan mengajak Anda untuk mengenal salah satu candi yang terkenal di Indonesia, tepatnya di tanah Jawa. Melansir dari kanal youtube ASISI Channel berikut informasi mengenai 4 alasan sakralnya Candi Cetho.
BACA JUGA:5 Fakta Menarik Candi Kethek, Bukti Tergerusnya Hindu Pasca Paregreg Majapahit
4 Alasan sakralnya Candi Cetho
1. Relief Sudamala, ruwat Durga Ranini
Di teras ketiga, sisi kanannya terdapat sederet batu relief. Alur ceritanya sulit dipahami karena sudah tidak berurutan, ditambah lagi relief pada candi zaman Majapahit biasanya berupa fragmen cerita.
Namun, melihat kesamaan gayanya dengan relief di Candi Sukuh, serta beberapa adegan yang tergambar, seperti Bathara Guru yang menemui Sadewa dan Punakawan, serta pertemuan Sadewa dengan Resi Tambapetra, m aka jelas ini adalah kisah Sudamala.
Makna kisah Sudamala juga adalah pembersihan diri dari dosa. Bahkan, kisah Sudamala pun hingga kini masih dipentaskan dalam ritual ruwat wilayah.
BACA JUGA:2 Keunikan Candi Tegowangi, Keterikatan dengan Dunia Bawah dan Kisah Ruwat
2. Arca Bima Lukar, pemujaan ruwat
Di teras ketiga, ditemukan lagi arca kura-kura dan arca Bima yang terpenggal, berkalung ular, dan memakai kain poleng. Bima dalam Jawa Kuno sendiri dikenal sebagai mediator dewa seperti Sadewa dalam kisah Sudamala.
Sama seperti halnya di Candi Sukuh, pemujaan pada Bima tumbuh subur pada masa akhir Majapahit, yang didasarkan pada kisah Bima Lukar, dan memiliki makna penyucian.