Sadewa diberinya nama baru, yakni Sudamala, yang berarti 'melepas mala atau dosa'. Cerita yang sama juga muncul di Candi Cetho dan Candi Tegowangi, dari masa akhir Majapahit.
Namun, lakon Sudamala biasanya ditanggap untuk ruwat akbar, seperti bersih desa, kadipaten, dan lainnya. Karena itu, muncul dugaan bahwa Candi Sukuh, dengan relief Sudamala-nya, sengaja dibangun untuk meruwat Majapahit, yang saat itu merosot pasca Perang Paregreg.
BACA JUGA:5 Filosofi Relief di Goa Selomangleng, Salah Satunya untuk Pencerahan Jiwa
3. Kisah Bima Swarga si mediator dewa
Di Candi Sukuh, ada relief misterius yang dibingkai lengkung kala marga, yakni lengkung tapal kuda dengan kepala rusa di ujungnya. Meskipun mirip, bentuknya bukanlah rahim.
Menurut arkeolog Stutterheim, relief bagian atas adalah penggalan kisah Bima Swarga, yakni Bima bertemu Bathara Guru yang berlengan empat. Sementara itu, relief bagian bawah adalah kisah kelahiran Bima atau Bima Bungkus.
Kisah Bima Swarga paling jelas ada di candi pewara, yang kini dinamai Kyai Sukuh. Dalam kisah ini, orangtua Pandawa, yakni Pandu dan Dewi Madrim, disiksa di neraka karena telah membunuh Brahmana.
Bima pun menerjang neraka, hendak membebaskan mereka. Sayangnya, ia berhasil dikalahkan Durga Ranini.
Bathara Guru pun menghidupkan kembali Bima. Ia menganugerahi Bima sebotol tirta amerta dan bersatu dengannya agar Durga Ranini dapat diruwat menjadi Dewi Uma yang cantik jelita, mirip seperti kisah Sudamala.
Itulah alasan sosok Bima dianggap sebagai mediator dewa dan dipuja oleh mereka yang ingin mencapai kesempurnaan. Hal ini cocok dengan data sejarah masa Majapahit akhir, marak ritus pemujaan kepada Bima, yang di kerajaan-kerajaan sebelumnya tidak pernah ada.
Demikian, informasi mengenai mitos ruwatan Majapahit di Candi Sukuh pasca Perang Paregreg. Semoga bermanfaat bagi Anda yang ingin tahu tentang mitos dan kisah mistis di Indonesia, tepatnya di tanah Jawa.***