Rahasia Kenapa Barang Impor China Bisa Lebih Murah dari Produk Lokal?

Selasa 01-08-2023,22:43 WIB
Reporter : Aditya Saputra
Editor : Aditya Saputra

RADAR TEGAL - Impor barang dari China disebut sebagai penyebab utama rusaknya industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia. Ini terjadi karena banyak perusahaan dalam industri TPT nasional memiliki modal terbatas.

Impor TPT dari China terus berlanjut, dan kualitasnya juga bagus dengan harga yang murah, seperti yang diakui oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi.

Barang impor dari China

Pada hari Kamis, 8 Juni 2023, Ristadi, dalam wawancaranya dengan CNBC Indonesia. Dia mengatakan bahwa selama puluhan tahun, mereka telah mendesak agar produk impor ini diperangi dan impor ilegal dihentikan.

Kemudahan dalam perjanjian perdagangan dan sejenisnya membuat serbuan impor semakin meningkat. Akibatnya, produsen lokal kesulitan bersaing dan bahkan banyak yang gulung tikar.

BACA JUGA:KUR BRI 2023 Pinjaman 10 Juta Bunga Rendah dengan Setoran Rp216.667 per Bulan

Dia memberikan contoh bahwa kain katun impor dari China hanya dijual dengan harga Rp15.000 per meter, sedangkan jika diproduksi di dalam negeri, harganya menjadi Rp30.000 per meter.

Ristadi merasa heran, "Saya tidak bisa mengerti bagaimana mereka (China) bisa menawarkan harga yang begitu murah." Harga kain dari China yang murah telah membuat para perajin batik di Pekalongan beralih dan menggunakan kain produksi dari China.

"Para perajin batik sadar bahwa mereka sekarang menggunakan kain dari China, dan mereka tahu bahwa ini adalah aturan pasar. Orang mencari barang yang murah dan bagus. Ini sudah menjadi masalah yang berlangsung lama, seperti lingkaran setan. Kami telah mengutarakan permasalahan ini selama puluhan tahun," ungkap Ristadi.

Apa yang membuat produk China lebih murah?

Ristadi menjelaskan bahwa biaya produksi di China lebih efisien. Selain itu, sistem upah tenaga kerja di China berbeda dengan di Indonesia.

"Dari segi upah saja tidak cukup, biaya di China lebih efisien. Mulai dari layanan, insentif, harga energi, hingga infrastruktur yang berpengaruh pada biaya produksi juga. Izin-izin kita sudah menuju ke arah yang lebih efisien," ujarnya.

"Selain itu, ada kesalahpahaman tentang upah minimum yang sering dianggap sebagai upah maksimum di sini. Perusahaan terkadang hanya mengikuti peraturan dan menyamakan upah bagi pekerja baru dan pekerja yang sudah bekerja puluhan tahun," kata Ristadi.

Meskipun tidak bisa dipastikan hubungan antara keduanya, Ristadi mencurigai bahwa hal itu mungkin memengaruhi produktivitas para pekerja.

Dia mengakui bahwa pekerja di China memang lebih produktif. Sebagai contoh, di pabrik sepatu, pekerja di China bisa membuat 1,5 hingga 2 pasang sepatu dalam sehari.

BACA JUGA:Ngga Ada Matinya! 5 Rekomendasi Usaha Bagi Kalian yang Mau Pensiunan

Sementara itu, pekerja di Indonesia hanya bisa membuat 1 pasang dalam waktu yang sama.

"Yang menarik, pekerja di China dibayar dengan jumlah yang sama, apakah mereka bekerja untuk membuat 1 atau 2 pasang sepatu," ujarnya.

"Sikap dan lingkungan mempengaruhi produktivitas pekerja. Bagaimana pekerja merasa akan mempengaruhi seberapa keras mereka bekerja, bahkan jika gajinya sama," ujarnya.

Dia juga menceritakan tentang protes terhadap perusahaan yang memberikan upah lebih tinggi kepada pekerja China.

"Jawabannya adalah, satu pekerjaan yang dikerjakan oleh pekerja China, dikerjakan oleh dua orang pekerja lokal. Ini bukan untuk merendahkan, tapi ini fakta. Misalnya, jika sebuah tim terdiri dari 10 anggota, hanya 7 orang yang benar-benar bekerja keras. Pekerja Cina terlihat seperti tidak merasakan kelelahan. Saya pernah mengunjungi pabrik dan melihat perbedaan cara mereka memasang bata," katanya.

Pemerintah harus mengevalusai

Oleh karena itu, dia berharap pemerintah mengevaluasi kebijakan tentang upah minimum dan mendorong peningkatan kualitas tenaga kerja di Indonesia dengan memberikan pelatihan vokasional.

BACA JUGA:Anti Ribet dan Terjamin Aman, Berikut 4 Pinjaman Online Tanpa Jaminan: Pinjaman Cair Hingga Puluhan Juta

"Saat ini, ada tren baru. Banyak karyawan yang hanya bertahan dalam pekerjaan selama 1-3 bulan, mereka mudah merasa lelah, dan produktivitas mereka berbeda dengan generasi tahun 1990-2000. Mereka cepat merasa lelah dan sakit, sehingga sering tidak masuk kerja keesokan harinya," tegas Ristadi.

Demikian informasi tentang kenapa barang china bisa lebih murah daripada barang produksi lokal. Temukan banyak informasi lainnya, hanya di radartegal.disway.id, semoga bermanfaat.(*)

Kategori :