Oleh: Dahlan Iskan
SAYA lupa kalau besok (9/2) ulang tahun Disway. Saya baru ingat ketika hari sudah senja kemarin: ketika mendapat kiriman artikel mas Joko Intarto: Nostalgia Disway.
Ups, saya telanjur menulis tentang pupuk. Sudah setengah jalan. Maka biarlah, tulisan "bidan" Disway itu saja yang dipakai untuk menandai ulang tahun kali ini.
Mas Joko tidak hanya "bidan" Disway. Ia juga bidan harian Radar Sulteng di Palu: ketika ia masih perjaka 24 tahun.
Ia juga bidan untuk bisnisnya sendiri: Jagaters. Perusahaan penyelenggara webinar. Yang kini terbesar di Indonesia. Yang awalnya, selama tiga tahun, tertatih-tatih.
Lalu Jagaters booming. Itu bersamaan dengan masuknya pandemi ke Indonesia: semua kegiatan harus online.
Saya beberapa kali meninjau perusahaannya yang sangat maju. Tapi, lain kali saja saya menulis tentang "Sang Bidan".
Kali ini biarlah artikel yang telanjur ditulis ini yang terbit.
Saya pun sudah lupa: berapa umur subsidi pupuk itu. Saya buka artikel Prof Dwi Andreas Santoso dari IPB: sudah 53 tahun!
Itulah jenis subsidi yang paling panjang umurnya dalam sejarah kita. Kalau ada yang punya ide menghapusnya pasti Bharatayuddha! Jangankan menghilangkannya, usaha menguranginya pun bisa babak belur. Jangankan sekadar memotong, merasionalkan pun ribut.
Petani pasti diuntungkan dengan subsidi pupuk itu. Tapi sebenarnya ada pihak lain yang lebih menikmati keuntungannya: Anda sudah tahu siapa. Anda bisa bilang: sudah rezekinya mereka.
Pemerintahan yang sekarang ini termasuk pemberani: berani memasuki wilayah sensitif ini.
Empat tahun lalu, petani pemilik sawah di atas 2 hektare tidak bisa lagi mendapat pupuk bersubsidi. Memiliki sawah lebih 2 hektare pastilah bukan miskin.
Heboh.
Pemerintah tidak mundur. Subsidi itu untuk orang miskin.