”Sekarang.”
”Naik apa?”
”Hmmm....”
”Jalan darat lagi?”
”Kali ini naik kereta api. Berangkat dari Stasiun Pasar Turi jam 21.05,” jawab saya.
Saya tidak tahu istri saya makan apa malam kemarin. Saya harus segera ke stasiun. Perlu perjalanan satu jam.
Dua jam sebelumnya saya sudah tes antigen. Di ruko dekat rumah –hanya satu lemparan apa pun: Rp80.000. Dapat bonus masker satu lembar.
Teman rombongan saya tes antigen di drive-through: Rp 90.000. Satunya lagi tes di dekat rumahnya: Rp60.000. Ada yang tidak sempat tes. Pilih melakukannya di stasiun: Rp45.000.
Malam itu saya harus naik kereta api. Saya hanya akan satu hari di Jakarta. Kalau pakai mobil, terlalu lelah mengemudi Surabaya–Jakarta pp. Sekalian ingin tahu: sudah seberapa maju kereta kita.
Sebenarnya saya ingin mencoba kelas luxury. Yang kursinya besar. Yang bisa disandarkan. Pasti nyaman. Ini kelas baru. Dulu tidak ada.
Gagal.
Kelas luxury itu tinggal satu kursi. Saya merasa tidak enak sendirian di kelas tersebut. Satu kursi itu pun terjual cepat. Padahal, saya akhirnya setuju sendirian di situ. Umur saya sudah 70 tahun. Harus bisa istirahat lebih baik di waktu tidur.
Kepala stasiun menyambut saya di depan stasiun. Tapi, saya sudah di ruang tunggu. Sambil meneruskan mengirim komentar terpilih.
Saya pun diminta pindah ke ruang tunggu VVIP. Sambil ngobrol soal kemajuan kereta api. ”Jumlah penumpang sudah pulih,” ujar Suharianto, sang kepala stasiun yang asal Yogyakarta itu.
Ternyata kelas luxury memang selalu penuh. Padahal, harga karcisnya lebih mahal daripada naik pesawat: Rp1.050.000.
Saya memuji ide lahirnya kelas luxury tersebut. Itu bisa menaikkan brand KAI.