Ternyata, kelas itu, secara pendapatan, lebih rendah daripada kelas eksekutif. Di gerbong luxury, isinya hanya 18 tempat duduk. Hitung sendiri. Sedangkan untuk kelas eksekutif, bila penuh, menghasilkan Rp28 juta/gerbong.
Sudah begitu lama saya tidak naik kereta api: 6 tahun? Sekitar itu. Ternyata tetap terjaga baik. Tetap bersih sekali –pun toiletnya.
Bahkan, tempat duduk eksekutif itu sudah berubah: bukan lagi kain khusus. Sudah diubah jadi semacam plastik khusus. Atau kulit sintetis. Itu lebih baik. Lebih sehat. Tidak menyerap debu.
Saya lihat ada dua tempat duduk kosong di depan saya. Saya pindah ke situ: bisa tidur mlungker. Yang penting, punggung bisa ditaruh terbaring. Lumayan.
Kalau toh malam itu saya kurang bisa tidur, mungkin ada penyebab lain: Liverpool kalah. Atau karena wifi saya kurang kuat. Pertandingan tengah malam itu sering putus. Saya coba pindah ke wifi gratis yang disediakan KAI –lebih parah lagi. ”Wifi gratis ini buang-buang uang. Tidak ada penumpang yang pakai. Lemot sekali,” ujar penumpang di belakang saya.
Pukul 05.00 kereta sudah tiba di Jakarta-Gambir: 7 jam 55 menit. Rasanya sulit lebih cepat dari itu: biarpun relnya sudah ganda. Atau, jangan-jangan ditemukan ide baru lagi: agar investasi rel ganda itu lebih bermakna.
”Kenapa harus berhenti di Bojonegoro?” tanya saya.
”Bu bupatinya minta terus. Kan ada minyak bumi di sana,” ujar Suharianto.
”Kenapa berhenti di Semarang?”
”Cukup banyak penumpang dari Semarang.”
Mungkin itu dulu. Sebelum ada jalan tol. Sekarang bisa beda. Saya lihat, di gerbong saya, hanya dua orang yang naik dari Semarang.
Saya setuju ada kereta yang berhenti di Bojonegoro, Semarang, dan di mana pun. Agar ada keadilan. Itu bisa diatur: kereta apa yang harus berhenti di mana. Tidak semua kereta berhenti di semua kota.
”Kenapa berhenti lagi di Pekalongan?”
”Harus ganti kru.”
”Kenapa harus ganti kru? Kan cuma 8 jam?”
”Peraturan menterinya begitu.”