Tarik ulur pembahasan RUU Pemilu semakin panas. Kepentingan partai terhadap aturan tersebut mati-matian diperjuangkan.
Setuju atau tidak, pembahasan harus dilakukan dengan pemerintah. Tapi, pemerintah menyatakan sudah tidak setuju.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin mengatakan, sealot apapun perdebatan, jika pemerintah tidak ikut membahas, dipastikan RUU Pemilu tidak dilanjutkan.
"Pemerintahkan sudah jelas mengatakan jika menolak untuk membahas. Dan pembahasan RUU ini harus dlakukan DPR dan pemerintah. Jadi, sudah jelas jika RUU ini tidak akan dibahas," kata Akademisi Universitas Al Azhar Indonesia tersebut, Senin (1/2).
Ujang melanjutkan soal tarik ulur di DPR, adalah hal lumrah. Partai politik dipastikan akan bersikap sesuai kepentingan masing-masing. Hanya saja, jika Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak dlakukan di 2022 dan 2023 akan banyak Pejabat Sementara (Pjs).
"Nah, ini kan masanya cukup lama. Bisa sampai dua tahun. Juga tidak mungkin, nantinya Pjs yang diduduki Aparatur Sipil Negara (ASN) akan condong ke salah satu partai politik. Karena tidak menutup kemungkinan, suatu daerah akan condong kepada partai tertentu," paparnya.
Sementara itu, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan yang tidak ingin aturan tentang Pemilu yang saat ini berlaku diubah mengaku bersyukur. Alasannya, hal tersebut sejalan dengan sikap pemerintah yang menolak untuk membahas RUU Pemilu.
"Saya senang kalau pemerintah juga berpendapat sama dengan PAN, alhamdulillah terima kasih. Jadi kan lebih ringan, berarti kan bagus," kata Zulhas (sapaan akrabnya, Red.).
Menurut dia, partai-nya menolak revisi UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu adalah keputusan internal yang telah dilakukan kajian secara komprehensif dan tidak pernah dihubungi Presiden Jokowi terkait sikap partai-nya tersebut
"Terikait sikap PAN dalam RUU Pemilu, tidak ada kaitannya dengan pemerintah, jadi kita mengambil keputusan sendiri. Jadi kalau ada yang tanya apakah bertemu Presiden Jokowi membahas, tidak," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Fraksi Partai NasDem DPR RI Willy Aditya menilai jika Pilkada Serentak nasional dilaksanakan tahun 2024 maka akan banyak Pjs kepala daerah dalam waktu yang cukup lama. Sehingga akan berdampak pada tanggung jawab politik terhadap rakyat karena hak publik menjadi terabaikan.
"Pelayanan publik jadi terganggu. Padahal kebutuhan publik adalah salah satu tanggung jawab utama seorang pemimpin hasil pemilihan,” kata Willy.
Menurut Willy, Pemilu dan Pilkada adalah kunci dari perwujudan kedaulatan rakyat sehingga jika ada pihak lain yang bermaksud menghilangkan atau menunda proses tersebut, maka harus diperiksa dari mana mandat itu didapatkan.
Selain itu dia menilai, Pemilu atau Pilkada merupakan mekanisme pemberian otoritas politik dari warga negara kepada penguasa. Supremasi yang dimiliki oleh suatu pemerintahan, sesungguhnya adalah supremasi yang didelegasikan dari rakyat.
"Mandat rakyat untuk pemimpin baik nasional maupun daerah hanya lima tahun, dan itu adalah waktu bagi rakyat mendapatkan haknya untuk memilih kembali pemimpinnya," ujarnya.