Bahas soal Nikah Siri, Wakil Rektor III IBN Tegal Dipromosikan Doktor
Zaki Mubarok--
SLAWI, RADARTEGAL.DISWAY.ID - Membahas soal nikah siri, Wakil Rektor III Institut Agama Islam Bakti Negara (IBN) Tegal Zaki Mubarok dipromosikan doktor. Dia mengikuti sidang Promosi Doktor di Kampus 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Semarang, Kamis, 6 Juli 2023.
Disertasi atau karya tulis yang diangkat oleh Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama ini yakni soal Rekonstruksi Regulasi Pencatatan Nikah Siri dalam Kartu Keluarga Perspektif Maqasid Asy-syari'ah.
Dalam sidang promosi doktor itu, Zaki yang juga aktivis GP Ansor Kabupaten Tegal dan sekretaris DPC Petanesia Kabupaten Tegal itu, memaparkan beberapa temuan penelitiannya soal nikah siri.
Pertama, pencatatan nikah siri dalam kartu keluarga selain mengandung nilai positif, juga tidak lepas dari nilai negatif.
"Di satu sisi, negara dengan landasan Permendagri Nomor 9 Tahun 2016 telah melaksanakan amanat Undang-undang Administrasi Kependudukan untuk mencatat semua peristiwa kependudukan. Namun di sisi lain ada pertentangan dengan Undang-undang Perkawinan," kata Zaki, saat sidang.
BACA JUGA:Disdukcapil Mulai Buka Layanan Permohonan KK Nikah Siri, Simak Syaratnya!
Sidang promosi doktor ini dipimpin oleh Prof. Dr. H. Imam Taufiq, M. Ag dan sekretarisnya, Dr. H. Nasihun Amin, M.Ag.
Sementara untuk penguji eksternal yakni Prof. Dr. H. Masrukhan, M. Ag dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya. Sedangkan penguji internal Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA, dan Dr. H. Nur Khoirin, M.Ag serta Dr. H. Rokhmadi, M.Ag dari UIN Walisongo.
Zaki melanjutkan, dengan adanya pencatatan nikah siri dalam kartu keluarga, tentu akan muncul kekhawatiran masyarakat yang menganggap bahwa kartu keluarga nikah siri sebagai dokumen yang legal.
"Padahal, kartu keluarga nikah siri hanya sebatas langkah afirmasi dari pemerintah dalam menangani masalah pernikahan siri," ungkapnya.
Kemudian permasalahan yang kedua, lanjut Zaki, dalam perspektif maqasid asy-syariah, pencatatan nikah oleh pemerintah merupakan langkah kehati-hatian (ihtiyath) dari pemerintah agar sesuai dengan tujuan pernikahan.
Suami-istri dan anak-anak hasil pernikahan dapat menjalankan hak dan kewajiban masing-masing dalam nafkah, waris, pengasuhan dan sebagainya.
Berbeda dengan pencatatan nikah siri. Menurut Zaki, tidak memiliki kekuatan hukum. Meskipun, kartu keluarga yang mekanismenya tidak berurut melalui akta nikah KUA, sudah digantikan dengan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM).
"Artinya, kartu keluarga tidak dapat digunakan sebagai dokumen resmi dalam menjamin hak dan kewajiban pemiliknya dalam konteks perundang-undangan di Indonesia," bebernya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: