Kebijakan Jokowi Rugikan Petani Kecil, Anak Buah Megawati Minta Larangan Ekspor CPO Dievaluasi

Kebijakan Jokowi Rugikan Petani Kecil, Anak Buah Megawati Minta Larangan Ekspor CPO Dievaluasi

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan jajarannya diminta mengevaluasi kebijakan moratorium atau pelarangan ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak nabati mentah dari kelapa sawit, beserta minyak goreng.

Permintaan itu diungkapkan anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP), Deddy Yevri Hanteru Sitorus. Alasan politisi Moncong Putih itu, pada ujungnya kebijakan tersebut bisa merugikan petani kecil dan mendorong lonjakan harga, termasuk produk turunan seperti minyak goreng.

Menurut Deddy, keputusan pemerintah melakukan moratorium ekspor CPO dan minyak goreng tepat jika dilakukan dalam jangka waktu pendek. Hal itu bisa dipahami sebagai langkah untuk memastikan melimpahnya pasokan di dalam negeri dan turunnya harga di tingkat domestik.

"Tetapi ini bisa merusak industri CPO secara keseluruhan, industri minyak goreng juga, dan ini merugikan petani petani kecil yang ada di pedalaman. Terutama petani sawit kecil, pemilik lahan sawit sedang dan pemilik kebun sawit yang tidak memiliki pabrik pengolahan CPO, refinery atau pabrik minyak goreng,” ucap Deddy kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (26/4).

"Perlu diingat bahwa sekitar 41 persen pelaku industri sawit adalah rakyat kecil. jadi ini menyangkut jutaan orang dan mereka yang pertama akan menderita akibat kebijakan tersebut,” imbuhnya.

Ketika turun ke dapilnya saat reses, Deddy mengaku bertemu petani kelapa sawit dan dikeluhkan jika buah sawit akan cepat busuk kalau tidak langsung dikirim ke pabrik dan harus segera diolah, jika tidak maka kualitasnya akan menurun.

"Buah sawit itu tidak bisa disimpan lama, begitu dipanen harus segera diangkut ke pabrik kelapa sawit. Jika tidak, buahnya akan busuk. Akibatnya rakyat menanggung kerugian dan kehilangan pemasukan," katanya.

Selain itu, pemilik Pabrik kelapa sawit juga tidak bisa menampung CPO olahan dalam waktu lama. Ditambahkan Deddy, sebab kualitasnya akan menurun dan tempat penyimpanan atau storage pun terbatas dan menambah biaya.

"Akibatnya, mereka akan menolak buah sawit milik petani dan tentu saja petani akan menjerit," tambahnya lagi.

Deddy menilai, Pemerintah seharusnya tahu bahwa moratorium hanya akan menguntungkan pemain besar. Khususnya mereka yang punya pabrik kelapa sawit sendiri, fasilitas refinery, pabrik minyak goreng, atau industri turunan lainnya.

Mereka juga memiliki modal kuat, memiliki kapasitas penyimpanan besar, dan pilihan-pilihan lain untuk menghindari kerugian. Dan jika ekspor itu dilarang, industri dalam negeri juga tidak akan mampu menyerap seluruh hasil produksi.

Sebab, beber Deddy, kebutuhan minyak goreng yang bermasalah itu hanya sekitar 10 persen atau sekitar 5,7 juta ton pertahun dibanding total produksi yang mencapai 47 juta ton pertahun untuk CPO. Dan sekitar 4,5 juta ton pertahun untuk Palm Kernell Oil (PKO)

Menurut pria kelahiran Pematang Siantar, Sumatera Utara tersebut, jauh lebih positif jika langkah pertama yang dilakukan Pemerintah adalah mengembalikan kebijakan Domestic Price Obligation (DPO) dan Domestic Market Obligation (DMO).

Dengan DMO, maka eksportir CPO wajib mengalokasikan 20 persen ekspornya ke dalam negeri dengan harga CPO yang ditetapkan Pemerintah. Selain itu, Pemerintah bisa menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET). (rmol/zul)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: