Guru di Bandung yang Memerkosa 13 Santriwatinya Akan Ditembak, Lokasi Eksekusi Dirahasiakan
Terdakwa kasus pemerkosaan terhadap 13 santriwatinya, Herry Wirawan, divonis hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi (PT) Kabupaten Bandung. Vonis dijatuhkan dalam sidang terbuka yang digelar, Senin (4/4) lalu.
Usai mendengar putusan tersebut, tatapan Herry tampak kosong. Dia hanya bisa tertunduk malu, karena harus menerima ganjaran dari aksi biadabnya sebagai predator seks.
Putusan itu dikeluarkan majelis hakim yang menerima banding jaksa penuntut umum (JPU). Hukuman penjara seumur hidup yang diputus oleh Pengadilan Negeri (PN) Bandung diperberat menjadi hukuman mati.
Adapun dalam perkara ini, Herry Wirawan tetap dijatuhi hukuman sesuai Pasal 21 KUHAP jis Pasal 27 KUHAP jis Pasal 153 ayat ( 3) KUHAP jis ayat (4) KUHAP jis Pasal 193 KUHAP jis Pasal 222 ayat (1) jis ayat (2) KUHAP jis Pasal 241 KUHAP jis Pasal 242 KUHAP, PP Nomor 27 Tahun 1983, Pasal 81 ayat (1), ayat (3) jo Pasal 76.D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo pasal 65 ayat (1) KUHP dan ketentuan-ketentuan lain yang bersangkutan.
Setelah vonis dijatuhkan, Herry Wirawan kini menunggu hari eksekusi dirinya. Namun eksekusi mati tak begitu saja bisa dilaksanakan.
Masih ada langkah hukum yang bisa ditempuh Herry. Terlebih jika ia mengajukan grasi.
Hukuman mati akan dilaksanakan setelah permohonan grasi terdakwa ditolak oleh pengadilan, dan juga adanya pertimbangan grasi oleh presiden.
Tata cara pelaksanaan pidana mati terbagi menjadi 4 tahap yaitu: persiapan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengakhiran.
Terpidana dan anggota keluarga akan diberitahukan mengenai hukuman mati dalam waktu 72 jam sebelum eksekusi. Biasanya, pelaksanaan hukuman mati dilakukan di Nusakambangan.
Para terpidana akan dibangunkan di tengah malam dan dibawa ke lokasi yang jauh dan dirahasiakan untuk dilakukan eksekusi oleh regu tembak, metode ini tidak diubah sejak 1964.
Terpidana akan ditutup matanya lalu diposisikan di daerah berumput, juga diberikan pilihan untuk duduk atau berdiri. Tentara menembak jantung terpidana dari jarak 5 hingga 10 meter, hanya 3 senjata yang berisi perluru dan sisanya tidak sama sekali.
Sebelum diatur di dalam KUHP aturan terkait pelaksanaan pidana mati di Indonesia telah beberapa kali diubah, yaitu menurut WvS 1915 dilakukan dengan cara digantung, menurut Osamu Gunrei Nomor 1 tanggal 2 Maret 1942 dilakukan dengan cara ditembak mati, menurut WvS 1915 juncto Staatsblad 1945 Nomor 123 dilakukan dengan cara ditembak mati.
Ketentuan Pasal 11 KUHP diubah oleh Undang-Undang Nomor 02/Pnps/1964 juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Pengadilan Umum dan Militer.
Kemudian pemerintah membuat pengaturan yang lebih teknis terkait pelaksanaan pidana mati yang mana diatur dalam Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. (fajar/zul)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: