Tak Bisa Nikahi Wanita Muslim, Warga Papua Gugat UU Perkawinan ke MK

Tak Bisa Nikahi Wanita Muslim, Warga Papua Gugat UU Perkawinan ke MK

Ramos Petege, seorang warga Katolik asal Papua, menggugat UU perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ramos Petege beralasan UU Perkawinan menyebabkan dirinya yang Katolik tidak bisa menikahi wanita muslim.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid (HNW) berharap MK menolak gugatan tersebut. Menurut HNW, UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. 

Ditambahkannya, hal itu sudah sesuai dengan aturan konstitusi, prinsip HAM, dan toleransi antar umat beragama. 

"Sudah selayaknya bila MK menolak uji materi tersebut. Apalagi MK telah menolak permohonan sejenis pada tahun 2015," ujarnya HNW dalam keterangannya dikutip, Sabtu (12/2).

Pascaamandemen UUD NRI Tahun 1945 pada 2002, papar HNW, UUD NRI 1945 telah mengatur relasi antara hak asasi manusia (HAM) dan ajaran agama di Indonesia. 

Selain dari ketentuan prinsip pada pasal 29 ayat 2, pelaksanaan ajaran agama, termasuk pernikahan yang sah, diakui sebagai HAM yang dilindungi (pasal 28 B ayat 1 dan pasal 28 E ayat 1).

Namun, HNW berpendapat, pasal-pasal itu tidak berdiri sendiri. Bahkan yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia di UUD NRI 1945 sekalipun. 

"Karena pasal-pasal soal HAM itu ditutup dengan pembatasan yang termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) yang menyatakan bahwa salah satu pertimbangan pelaksanaan HAM adalah UU dan nilai-nilai agama," katanya sebagaimana yang dikutip dari fin. 

Menurut HNW, seseorang tidak bisa berdalih terhadap hak asasi manusia terkait dengan nikah beda agama. Karena ide tersebut bertentangan dengan UU dan nilai-nilai agama yang hidup di masyarakat, terutama agama Islam.

Dia mengatakan bahwa berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disahkan melalui Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, Pasal 40 dan 44 KHI secara tegas melarang dilangsungkannya pernikahan beda agama.

"Ini seharusnya bisa juga menjadi pertimbangan hakim MK dalam memahami nilai-nilai agama, terutama Islam, sebagaimana disebut Pasal 28J ayat (2)," tegasnya. (dal/zul)

Sumber: