'Meritocrazy' Guci

'Meritocrazy' Guci

Oleh: Teguh Puji Harsono*)

INI sungguh bukan masalah typo atau kesalahan menulis, jika meritocracy ditulis menjadi "meritocrazy". Sebab demikianlah wajah lain dari gaya politik meritocracy yang terlihat baik di satu sisi, tapi 'gila' di sisi lainnya.

Berasal dari kata merit atau manfaat, meritocracy mulanya merujuk kepada suatu bentuk sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan untuk memberikan manfaat kebaikan yang optimal jika diberi amanah menempati suatu jabatan atau pekerjaan tertentu.

Pola rekruitmen jabatan atau pekerjaan semacam itu dipandang sangat adil dan profesional karena murni berdasarkan pada kepantasan atas kemampuan yang dimilikinya, bukan karena latar belakang etnis, afiliasi politik, atau status sosial apalagi wonge dewek.

Ideal kelihatannya, tapi begitu salah memahami substansi dan cara menerapkan sistem ini maka pemaknaannya akan bergeser. Bahkan terbalik sungsang terjerumus masuk ke dalam dialektika kapitalisme yang tak berperikemanusiaan.

Di mana hanya orang-orang kaya yang diberi ruang untuk menguasai segala macam sumber daya baik alam maupun manusia. Singapore adalah salah satu contohnya.

Politik meritrocracy menjadi pijakan dasar pembentuk tatanan pemerintahan dan administrasi kelembagaan negara di berbagai sektornya. Sehingga negara ini tertata dengan baik dan memiliki banyak perusahaan ternama di dunia yang berhasil menjadikan Singapore sebagai bagian dari negara yang ekonominya dianggap kuat.

Konsekwensi dari keberhasilan menata perekonomiannya ini, Singapore menjadi sebuah negara yang sangat memperhatikan aspek kehidupan yang nyaman, bersih dan tertata rapi meskipun harus dibayar dengan biaya hidup yang mahal.

Alhasil, Biaya hidup yang mahal ini tak lagi bisa terjangkau oleh penduduk aslinya yang sebagian besar bermata pencaharian nelayan, pekerja perkebunan karet dan buruh tambang, mereka lantas menjadi korban sekaligus penonton ditengah hiruk pikuknya tatanan ekonomi liberal yang 'berwajah dingin'.

Pelan tetapi pasti penduduk asli mulai tergusur oleh para pendatang yang punya modal besar keluar dari tanah kelahirannya. Inilah kekhawatiran penulis demi melihat fenomena maraknya hotel-hotel baru juga berbagai macam bangunan penunjang di Obyek Wisata Guci Kabupaten Tegal.

Dialektika tradisi yang mempertimbangkan relasi keseimbangan pembangunan tatanan "GIRI-se-GARA" seakan-akan diabaikan atau setidaknya direduksi oleh gerakan  kapitalisasi sumber daya alam menjadi mesin-mesin produksi yang difungsikan semata-mata bagi peningkatan pendapatan daerah dan perlipat-gandaan keuntungan dari investasi swasta yang menjamur disetiap ujung kawasan Guci.

Tak ada lagi sedikit ruang bagi masyarakat kecil untuk bisa menikmati hangatnya air guci, semuanya bertiket, semuanya ada ongkosnya. Bahkan terhadap pancuran 13, wilayah yang diyakini oleh masyarakat tradisi sebagai tempat yang airnya tak hanya berfungsi untuk sarana padusan (membersihkan badan), tapi juga padasan (ritual membersihkan bathin).

Ada mata rantai dari ekosistem kehidupan masyarakat tradisi yang terputus ketika pancuran 13 di kapitalisasikan. Di antaranya: kesatu, secara ekonomi kawasan yang tadinya masih menyisakan ruang pancuran 13 bagi pengunjung dari kelas ekonomi bawah yang selama ini menjadi pasar bagi pelaku ekonomi dari kelas yang juga bawah.

Seperti pedagang tenongan, asongan jagung bakar, mainan anak-anak dan lain-lain menjadi hilang atau setidaknya semakin sepi dan berkurang pengunjungnya. Sehingga para pelaku ekonomi dari klas bawah pun terganggu dan tak dapat menjual dagangannya sebagaimana dulu ketika pancuran 13 digratiskan.

Sumber: