'Meritocrazy' Guci

'Meritocrazy' Guci

Guci bukan lagi menjadi milik masyarakat kecil semuanya berbayar dan ini menjadi ladang bisnis baru bagi para pialang yang hilir mudik mencari tanah - tanah penduduk yang hendak dijual. Tak membutuhkan waktu yang lama berdasarkan informasi yang penulis dapatkan harga tanah di Guci meningkat tajam bagai loncatan quantum. 

Dari harga di bawah Rp1 jutaan per meter persegi tiga tahunan yang lalu menjadi Rp4 jutaan per meter persegi per hari ini. Harga tanah yang tinggi ini menjadi semacam "gula-gula" bagi masyarakat desa yang sudah terlalu lama hidup "sederhana".

Sehingga tak ayal banyak yang tergoda untuk menjual tanahnya demi menutupi biaya hidup yang semakin sulit, juga demi impian hidup bergelimang harta dalam waktu yang cepat. Tanah-tanah di Guci pada akhirnya akan banyak dikuasai oleh para pemodal dan para pendatang sebagaimana situasi meritokrasi di Singapore, yang berakibat penduduk asli Guci akan tersingkirkan dari tanah kelahirannya.

Kedua, secara sosial, tegur sapa penduduk yang biasanya sama-sama mandi di lokasi tersebut, juga para pelaku tradisi yang biasanya bisa 24 jam berendam melakukan ritual tradisi yang diyakininya, menjadi susah dilakukan. Karena tertutup oleh pagar kawat berduri dan tiket masuknya yang relatif mahal.

Wajah-wajah asing para pendatang tiba-tiba berdiri menghadang di depan loket tiket yang angkuh atas nama pemilik baru dari aset tradisi yang sudah sejak dari zaman dulunya menjadi wahana bagi orang-orang desa membangun relasi antar manusia dan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhannya.

Berkurangnya ruang tegur sapa masyarakat tersebut menjadikan gaya hidup bersama sebagai ciri masyarakat desa  yang memegang pemahaman 'mangan ora mangan kumpul' menjadi terkikis dan bergeser menuju tatanan masyarakat baru yang hanya mementingkan dirinya sendiri.

Ketuiga secara budaya, terpinggirkannya masyarakat tradisi oleh para pemodal menjadikan terganggunya relasi-relasi tradisi. Baik antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam sekitarnya, maupun manusia dengan Tuhannya.

Sementara terhadap masyarakat yang coba terus bertahan untuk tinggal dan mencari nafkah di Guci, akan berpotensi menghadapi keterkejutan budaya (shock culture) yang keras dan mendadak. Keterkejutan budaya ini bisa saja segera dapat teratasi, jika penduduk asli mampu berselaras dengan dinamika perubahan budaya yang cepat.

Baik dengan cara bekerja pada hotel-hotel, vila-vila, maupun cafe-cafe yang banyak tumbuh tersebut. Tapi jika gagal maka penduduk asli akan menjadi 'korban' dari perubahan itu sendiri dan akan semakin termarginalkan.

Hotel-hotel megah, vila-vila serta cafe yang mulai tumbuh menjamur menjadikan kawasan Guci laksana kota yang enclave berada di tengah desa-desa di lereng Gunung Slamet yang hijau dan asri.

Suasana seperti Ini hampir sama sebagaimana suasana Puncak-Bogor, Jawa Barat di era tahun 1990-an yang ramai dengan pembangunan vila-vila 'liar' dan pada akhirnya di sekitar tahun 2000-an dituduh menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir di kawasan Jakarta, Depok, Tangerang dan Bekasi.

Penghuni baru dari Guci yang tidak mempunyai sejarah panjang dengan tanah yang ditinggali tak lagi mempunyai kepekaan membaca segala sistem tanda yang dikirimkan oleh alam. Kepentingan melipatgandakan keuntungan dari investasi yang sudah ditanam membutakan pemahaman bahwa tatanan gunung (giri) adalah penyangga tatanan di bawahnya.

Yaitu kawasan-kawasan sub-urban dan urban (segara) di Kabupaten Tegal. Itulah gambaran sisi lain dari wajah meritocracy yang 'crazy', karena meninggalkan kesadaran hati nurani dan hidup bersama serta memporakporandakan keselarasan relasi 'ati-bumi-Gusti', demi mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya. (**) 

*) Pemerhati Budaya di Yayasan Titis Manganti Dukuh Salam, Slawi

Sumber: