Perkebunan Nike
Aset negara terus berkurang.
Penduduk yang menempatinya ilegal seumur hidup —untuk tidak mengatakan hidup dari tanah haram.
Perusahaan negara kian lemah di situ.
Masyarakat sekitarnya miskin sekali.
Manajemen perusahaan lebih sibuk menghadapi masalah daripada membuat kemajuan.
PTPN serbakalah.
Itu seperti main sepak bola kalah 0-5. Kalau yang kalah itu MU, mungkin hanya lagi nasibnya saja yang sial. Tapi yang kalah ini sudah diketahui semua orang: pasti akan kalah 0-5. Pun sejak sebelum bermain.
Yang terbayang di otak saya waktu itu: PTPN memberi hak garap kepada penduduk sekitar. Setiap orang mendapat 2 hektare. Dipilih yang mau bekerja keras. Yang mau diikat perjanjian hukum dengan PTPN.
PTPN-lah yang menentukan desain kebun, jenis tanaman, model penggarapan, tata cara pemeliharaan, pemupukan, penanganan panen, dan bagi hasilnya.
PTPN menjadi off taker mereka dan memasarkannya.
Kebun itu menjadi milik puluhan ribu rakyat, dengan supervisi oleh PTPN —atau konsultan yang ditunjuk.
Langkah itu bisa dimulai dari perkebunan tebu, teh, karet dan tembakau di Jawa. Atau dimulai dari yang paling ruwet: di Sumut.
Saya tidak melihat ada cara lain untuk memperbaiki PTPN kita. Yang sifatnya benar-benar tuntas —bukan 'tuntas tuntutan dari atas.
Saya pun yakin masih banyak ide lain dari siapa saja. Tapi, setidaknya, lima persoalan pokok di atas harus selesai —bukan salah satunya.
Tentu ada juga yang akan menganggap ide ini hanya omong kosong dari seseorang yang lagi post power syndrome. Saya siap menerima penilaian seperti apa pun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: