KPK Ungkap Lima Modus Korupsi Kepala Daerah, Ini Datanya

KPK Ungkap Lima Modus Korupsi Kepala Daerah, Ini Datanya

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ungkap lima modus korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah. Hal ini dikatakan 
Direktur Koordinasi Supervisi (Korsup) Wilayah III Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI Bahtiar Ujang Purnama saat menggelar rakor virtual.

Bahtiar mengelompokkan sejumlah praktik yang lazim ditemukan pada kasus korupsi kepala daerah. Antara lain manajemen ASN yang terkait jual beli jabatan dan pengadaan barang dan jasa. 

Pertama, mengenai penerimaan daerah, di antaranya dari penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah, pendapatan daerah dari pemerintah pusat dan kerja sama dengan pihak ketiga.

Kedua, menyangkut belanja daerah seperti pada pengadaan barang dan jasa, penempatan dan pengelolaan kas daerah, pelaksanaan hibah, bansos, dan program kegiatan, penempatan modal pemda di Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan pengelolaan aset.

"Terkait pengadaan barang dan jasa, silakan cek kembali. Terkadang itu-itu saja pemenang lelangnya, atau benderanya beda tapi orangnya masih sama itu-itu saja, karena memang sudah jadi mafia barang dan jasa. Ini sudah kita analisis, baik di Jawa Timur maupun di Jawa Tengah,” katanya.

Ketiga, tambah Bahtiar, menyangkut benturan kepentingan yang menyangkut rotasi, mutasi, dan promosi jabatan serta rangkap jabatan. 

Dirinya menyoroti pengangkatan jabatan atau rekrutmen pegawai di daerah, misalnya rekrutmen pegawai non-PNS yang digaji lewat APBD. Apakah mereka ini jumlahnya sudah proporsional sesuai analisis kebutuhan tugas masing-masing. 

Rekrutmennya seringkali asal-asalan, maka dirinya memohon masalah rekrutmen ini diperhatikan kembali jangan sampai jadi bumerang. 

"Nomor empat menyangkut perizinan, di antaranya dalam pemberian rekomendasi dan penerbitan perizinan," tambahnya. 

Adapun yang ke lima, lanjut Bahtiar,  tentang penyalahgunaan wewenang seperti pengangkatan dan penempatan jabatan tertentu pada orang-orang terdekat. Pemerasan saat rotasi, mutasi, dan promosi jabatan, serta gratifikasi yang dilarang. 

Dirinya mengakui jika sistem politik berbiaya tinggi pada pelaksanaan pilkada menjadi faktor pendorong utama kepala daerah melakukan tindak pidana korupsi seperti untuk mengembalikan pinjaman dari donatur atau promotor. 

Caranya bisa dengan memberikan banyak kemudahan atau fasilitas kepada donatur atau promotor tersebut.

Hasil survei KPK menyebutkan, 82,3 persen biaya politik pilkada berasal dari donatur dan bantuan yang diberikan itu bukannya tanpa imbalan, melainkan ada kepentingan tertentu di baliknya. (guh/ima)

Sumber: