PPN Akan Dinaikkan Pemerintah, DPR Kuatir Tambah Loyo Daya Beli Masyarakat

PPN Akan Dinaikkan Pemerintah, DPR Kuatir Tambah Loyo Daya Beli Masyarakat

Usulan pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) harus dipertimbangkan ulang. Meski kebijakan ini masih dalam proses pembahasan, namun sudah memberikan sentimen negatif di capital market.

Anggota Komisi IV DPR RI Muslim mengatakan, jika rencana kenaikan PPN jadi dilakukan, maka akan memperlemah daya beli masyarakat. Lemahnya daya beli tentu akan menekan konsumsi rumah tangga yang menjadi faktor utama pendorong perekonomian dalam negeri.

Menurut politisi dari Fraksi Partai Demokrat ini, seharusnya PPN dijadikan instrumen untuk mendorong konsumsi masyarakat yang pada akhirnya akan meningkatkan konsumsi nasional. Sehingga, seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah menurunkan PPN, bukan malah sebaliknya menaikkan PPN.

“Dengan demikian perlu dipikirkan kembali apakah tepat pemerintah menaikkan PPN saat ini, di saat semuanya terdampak pandemi Covid-19. Karena hal ini tentu bisa menghambat pemulihan ekonomi yang terdampak pandemi Covid-19,” ujarnya, Kamis (20/5).

Sementara itu, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah mengatakan, jika tren pertumbuhan terus meningkat sampai di Q4 di kisaran angka 5 persen, maka dapat dikatakan layak bagi pemerintah untuk menaikkan PPN pada tahun 2022 mendatang.

“PPN kita akan melihat di Q2 ini apakah target pertumbuhan 7 persen yang diinginkan pemerintah tercapai. Banggar memperkirakan 5 sampai 5,5 persen paling tinggi. Jika sampai di Q4 bisa sampai 5 persen maka pada tahun 2022 layak bagi pemerintah untuk menaikkan PPN. Karena dalam rangka menggulirkan demand yang lebih tinggi, mau tidak mau dalam menjaga fiskal maka pemerintah layak menaikkan PPN,” ujar Said, Kamis (20/5).

Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu menuturkan, berdasarkan pembahasan antara DPR dan Kemenkeu, PPN akan merujuk pada skema multi tarif. Skema multi tarif PPN yang terdiri pengenaan tarif PPN lebih rendah untuk barang-barang dan jasa tertentu yang dibutuhkan masyarakat berpenghasilan rendah.

Sementara, pengenaan tarif lebih tinggi untuk barang mewah/sangat mewah. Selain itu, Said menilai kerangka usulan APBN 2022 dari pemerintah masih bersifat normatif.

Said mengungkapkan, hal itu tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan masih di bawah 6 persen. (khf/zul/fin)

Sumber: