Politisi PKS Sebut Ada Celah Liberalisasi di UU Omnibus Law, Jubir Prabowo: Tidak Benar Inhan Bisa dan Diberik

Politisi PKS Sebut Ada Celah Liberalisasi di UU Omnibus Law, Jubir Prabowo: Tidak Benar Inhan Bisa dan Diberik

Ada celah liberalisasi dalam UU Omnibus Law. Celah berbahaya itu ada dalam hal kepemilikan modal dan pengawasan. Khususnya alat utama pertahanan.

Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menegaskan berdasarkan UU Omnibus Law pasal 52 ayat 1 menyatakan bahwa kepemilikan modal atas industri alat utama, dimiliki oleh badan usaha milik negara dan/atau badan usaha dalam negeri.

“Undang-undang Omnibus Law ini mengubah lanskap industri pertahanan Indonesia. Sebelumnya dalam UU nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan pasal 11 disebutkan bahwa Industri alat utama hanya pemerintah yang menugaskan kepada BUMN pertahanan sebagai pemandu utama untuk memproduksi industri alat utama,” terangnya.

Namun, lanjut Sukamta, kini pihak swasta bisa masuk ke industri alat utama. Permasalahan kemudian muncul ketika sebuah industri strategis bisa dikuasai oleh pihak swasta.

“Modal perusahaan swasta bisa saja berasal dari asing walaupun status perusahaan tersebut merupakan badan usaha dalam negeri,” ujarnya.

Menurut Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI ini, kepemilikan modal menjadi krusial karena menyangkut arah, kebijakan usaha, kerahasiaan data terkait produksi alat utama pertahanan dari perusahaan swasta.

“UU ini jelas akan banyak mengubah Daftar Negatif Investasi (DNI) khususnya dalam hal penanaman modal di bidang alat utama pertahanan. Selama ini, sesuai dengan Perpres Nomor 44 Tahun 2016 tentang DNI badan usaha alat utama mensyaratkan 100 persen modal berasal dari dalam negeri,” terang Sukamta.

Namun, imbuhnya, dengan masuknya badan usaha dalam negeri non pemerintah maka bisa jadi tidak harus 100 persen modal berasal dari dalam negeri.

“Jangan sampai niat untuk memperkuat industri pertahanan dalam negeri menjadi liberalisasi industri yang ujung-ujungnya pihak asing yang menikmati,” katanya.

Ia menyatakan kondisi dari perusahaan plat merah di bidang militer masih memprihatinkan. “Minim modal, minim dukungan riset dan development, minim dukungan penjualan jadi faktor-faktor penyebab industri pertahanan Indonesia lesu darah,” beber Sukamta.

Liberalisasi yang akan terjadi akibat UU OBL ini membuat BUMN bidang militer sulit berkembang. Saat ini praktis hanya Pindad yang eksis dalam industri alat utama pertahanan.

Namun, perkembangan Pindad dalam sektor bisnis terbilang biasa-biasa saja. Pada 2019 misalnya, perolehan kontrak baru Rp7,31 triliun yang menghasilkan pendapatan bersih sebesar Rp3.39 triliun dan laba bersih hanya Rp101,07 milliar.

Padahal di 2019 anggaran alutsista TNI mencapai Rp11,33 triliun namun dari anggaran tersebut lebih dari 40 persen dipergunakan untuk membeli alutsista impor.

Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Polhukam ini membeberkan ada BUMN bidang militer yang lebih parah kondisinya karena telah melenceng dari tujuan awal didirikan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: