143.043 Orang Positif Covid-19, Jubir Satgas: Biaya Tes Swab Akan Diatur Agar Tidak Mahal

143.043 Orang Positif Covid-19, Jubir Satgas: Biaya Tes Swab Akan Diatur Agar Tidak Mahal

Selanjutnya meningkat ke 43 persen pada 26 Juli-2 Agustus 2020. Selanjutnya 43,19 persen pada 2-9 Agustus. Lalu, pada pekan 9-16 Agustus jumlahnya sebanyak 46,11 persen.

Peningkatan jumlah zona oranye ini harus diwaspadai. “Risiko tinggi zona merah menurun itu baik. Tetapi kalau daerah tidak terdampak ini juga menurun itu jadi tanda yang kurang baik. Terutama untuk daerah oranye perlu perhatian bersama,” ucap Wiku.

Dia juga menyoroti sejumlah kegiatan masyarakat yang menimbulkan kerumunan di tengah pandemi COVID-19. "Kami mohon agar seluruh anggota masyarakat dan pimpinan daerah untuk betul-betul dapat memperhatikan hal-hal ini untuk tidak terjadi di masa yang akan datang," terangnya.

Sementara itu, Ketua Konsursium Riset dan Inovasi COVID-19 Kementerian Riset dan Teknologi/BRIN, Ali Ghufron Mukti mengatakan klaim obat herbal atau imunomodulator yang dapat menyembuhkan COVID-19 tanpa melewati pengujian klinis secara tepat dapat menimbulkan penyebaran informasi yang salah.

"Ini yang sering belum mendapat uji klinis, lalu mengklaim bisa khusus untuk imunomodulator COVID-19," kata Ali Ghufron di Jakarta, Selasa (18/8).

Menurutnya, ada beberapa pihak yang mengklaim memproduksi produk imunomodulator, obat untuk memperkuat imunitas. Terutama dari bahan herbal yang dapat menyembuhkan COVID-19.

Obat herbal memiliki tiga jenis. Yaitu yang sifatnya jamu, obat herbal tersandar (OHT) yang harus paling tidak melewati uji in vitro, dan fitofarmaka yang harus melewati uji klinis.

Terpisah, anggota Komite Nasional Penilai Obat BPOM, Anwar Santoso mengatakan melakukan uji klinis tidaklah sederhana. Penyembuhan suatu penyakit memiliki banyak faktor serta terdapat faktor perancu dan uji klinis dilakukan untuk meminimalkan peranan faktor tersebut.

Karena itu, klaim tanpa dukungan pengujian tersebut bisa menimbulkan tersebarnya informasi yang kurang tepat di masyarakat. "Dampaknya apa? Akan terjadi misinformasi pada masyarakat. Ini yang berbahaya. Karena uji klinis harus memberikan bukan hanya scientific value. Tetapi juga social value," tegas ahli jantung di RS Jantung Harapan Kita tersebut. (rh/zul/fin)

Sumber: