Gunung Nuh

Gunung Nuh

Tapi anak yang lahir di Gunung Anyar itu sampai kini masih terus bikin sejarah. Pak Nuh itu.

Beliau adalah sedikit dari kalangan NU yang bisa disebut teknokrat. Menurut saya teknokrat adalah orang yang mampu bikin perencanaan besar, tahu cara melaksanakan rencana besar itu, mampu melaksanakannya sesuai dengan target dan tahu bagaimana harus mengawasinya hingga target itu tercapai.

Seorang teknokrat berarti juga orang yang mampu menyusun skala prioritas dan konsisten bagaimana mementingkan yang prioritas dalam setiap langkahnya.

Tentu saya terbuka terhadap definisi teknokrat selain itu. Pokoknya Pak Nuh termasuk orang langka seperti itu.

Kemarin Pak Nuh ke Harian DI's Way News House. Saya undang beliau untuk rekaman podcast 'Energi Disway'. Saya ingin tahu bagaimana penilaian beliau tentang sekolah online sekarang ini. Tidak usah sebagai mantan menteri pendidikan nasional. Cukup pun sebagai teknokrat.

Beliau sangat setuju dengan sekolah online di masa pandemi ini. Hanya saja kok kita gedandapan. Terkaget-kaget. Yang beliau sesalkan adalah ketidaksiapan kita. Padahal Indonesia termasuk negara yang sangat awal 'sadar digital'. Lihatlah tahun peluncuran satelit Palapa: Juli 1976. Berarti sudah 44 tahun lalu. Begitu awalnya kita menyadari akan datangnya era digital. Sampai mendapat gelar negeri ketiga pertama yang memiliki satelit sendiri.

Pun lihatlah tahun berapa peluncuran tv digital: 2009. Alias 11 tahun lalu. Tapi penerapan TV digital belum bisa dilaksanakan sampai sekarang. Terhalang kepentingan bisnis kelompok tertentu.

Langkah menuju masyarakat digital seperti mandeg. Sehingga ketika terjadi pandemi, untuk mengutip istilah Jawa dari Pak Nuh, gedandapan.

"Dalam proses digitalisasi masyarakat itu kita kehilangan waktu satu dekade," ujar Pak Nuh. Dekade yang hilang di bidang digital.

Tiga hal yang menjadi perhatian pokok Pak Nuh di bidang sekolah online ini. Pertama, mahalnya pulsa bagi 70 juta peserta didik. Di segala tingkatan. Kedua, perlunya dipahami beda belajar 'di' rumah dan belajar 'dari' rumah. Ketiga, perlunya evaluasi atas terjadinya losses di proses pendidikan secara online.

Proses pendidikan itu, kata beliau, adalah untuk membentuk karakter, mengajarkan skill dan meningkatkan ilmu pengetahuan.

Harus dievaluasi seberapa banyak anak didik kehilangan capaian di tiga bidang itu. Agar setelah pandemi nanti kehilangan itu harus ditebus.

Sebenarnya Pak Nuh itu 'hanya' sejak kecil sampai lulus SD sekolah di madrasah. Yang seusai sekolah masih belajar agama di pondok.

Setelah itu Pak Nuh sekolah SMP Wachid Hasyim dan SMAN 9 Surabaya. Masih ke sekolah umum: ITS. Masuk ke teknik elektro. Jurusan sistem kontrol. Pun S-2 dan S-3 di Prancis. Bidangnya biomedik.

Tapi soal penguasaan agama Islam setingkat ulama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: