Draft Perpres Terorisme Mendesak Direvisi
Desakan agar Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) TNI dalam menangani terorisme direvisi kembali muncul. Rancangan Perpres tersebut dikhawatirkan akan memunculkan pelanggaran HAM.
Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Malik Ferry Kusuma mendesak agar pemerintah segera merevisi Rancangan Perpres TNI dalam menangani terorisme. Rancangan Perpres tersebut sama saja membuka peran yang luas bagi TNI.
"Rancangan Perpres ini terlalu melampaui tugas pokok TNI, sehingga harus direvisi," katanya, Senin (8/6).
Dinilainya Perpres pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme bertentangan dengan aturan hukum. Hal ini berimplikasi rusaknya sistem peradilan pidana di Indonesia, mengingat TNI tidak tunduk pada peradilan umum.
Selain itu, rancangan perpres tersebut juga tidak mengatur kapan, dimana, dan dalam waktu apa serta kondisi seperti apa TNI dilibatkan dalam penanganan terorisme.
"Kalau melihat dari pengalaman, negara kita ini belum ada situasi yang mendesak melibatkan TNI dalam penanganan terorisme," ucapnya.
Dijelaskannya, ada dua model pelibatan TNI. Model pertama militer penuh, seperti Amerika terhadap Afganistan dan Osama Bin Laden. Sedang model kedua sifatnya perbantuan. Model kedua ini dianggap paling tepat bagi Indonesia.
tugas TNI yang tertuang dalam rancangan Perpres tersebut justru tumpang tindih dengan institusi lain. Terutama dengan Polri maupun Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Meski demikian, dia sepakat bahwa terorisme adalah kejahatan luar biasa. Namun, pola pendekatan dilakukan dalam penanganannya jangan sampai aparat negara menggunakan cara berimplikasi pada pelanggaran hukum, pelanggaran hak asasi manusia.
"Di sini poin penting kita untuk mengingatkan rancangan perpres ini tidak tepat. Itu merusak sektor reformasi keamanan, khususnya TNI," ucap Ferry.
Ferry pun meminta agar parlemen meminta pemerintah merevisi Perpres tersebut pasal demi pasal yang kewenangan terlalu jauh melebihi tugas pokok TNI sebagaimana diatur dalam UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI, salah satunya mengenai prosedur operasional pelibatan TNI dalam penanganan terorisme.
"Waktunya belum tepat (perpres), dan, misal, ada situasi sangat mendesak lewat kebijakan politik, presiden bisa berkonsultasi dengan DPR, itu bisa dikerahkan TNI dalam penanganan terorisme. Masalahnya dalam perpres ini tidak ada lagi koordinasi, Panglima bisa mengerahkan pasukan. Kalau pun ada koordinasi hanya konsultasi dengan presiden," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar mengatakan sebaiknya pemerintah dan DPR membahas rancangan Undang-Undang Perbantuan TNI dibandingkan Perpres tentang Tugas TNI dalam menangani terorisme.
"Dengan begitu (UU Perbantuan), lebih jelas pelibatan TNI baik itu dalam penanganan terorisme, atau sekarang dalam geliat penanganan COVID-19. Belum ada UU tugas perbantuan atau rule TNI dalam urusan berbagai macam hal OMSP," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: