Diskusi Budayawan Zastrow dan PMII Tegal: Bedah Strategi Kebudayaan, Mitos hingga Ancaman Radikalisme

Peserta diskusi, Syafii Palevi dan Ilwan, menyoroti apakah mitos sebenarnya mampu merawat norma sosial tertentu.

Zastrow membenarkan. Mitos, yang sering dianggap kuno, justru menjadi titik mula lahirnya ilmu pengetahuan.

BACA JUGA:Kecelakaan Maut di Balapulang Tegal: 1 Pelajar Tewas Tertabrak saat Berbonceng 3

BACA JUGA:Kabupaten Tegal Raih Penghargaan Link and Match Kemenperin RI karena Ini

“Strateginya adalah mentransformasikan mitos melalui etos agar lahir logos atau rasionalitas. Kalau mitos dibuang, Anda kehilangan sumber pengetahuan,” jelasnya.

Ia mencontohkan larangan menebang pohon dengan alasan “ada yang jaga”. Dulu, pendekatan mistis digunakan untuk menumbuhkan kesadaran menjaga alam. 

Baru setelah berkembang, etos dan logos menjelaskan bahwa pohon menyerap air, memperkuat tanah, dan menghasilkan oksigen.

Begitu pula dengan larangan keluar rumah setelah Maghrib yang kini lebih mudah dijelaskan sebagai waktu istirahat dan refleksi.

BACA JUGA:Ini Temuan Sidak Proyek Perbaikan Jalan Margasari-Jatibarang Bupati Tegal

BACA JUGA:Warga di Tegal Minta Bansos dari APBD Tidak Menggunakan Desil DTSEN

Hilangnya Pemahaman Budaya

Zastrow mengingatkan bahwa hilangnya pemahaman budaya di era digital membuat situs-situs budaya dianggap musyrik. Padahal situs menyimpan nilai, spirit, dan sistem pengetahuan.

“Yang memancing kemusyrikan sekarang itu bukan situs, melainkan jabatan dan uang,” tukasnya.

Ia menyoroti ketidaksinkronan antara ritus dan situs di zaman modern. Ritus di media sosial seperti selfie tak lagi terkait dengan identitas kebudayaan.

Merespons masukan mengenai ritus adat desa, Zastrow menegaskan ritus harus selalu mencerminkan makna situs agar menghasilkan status atau aktualisasi yang kokoh.

BACA JUGA:Salurkan Paket Sembako, Satreskrim Polres Tegal Baksos di Rumah Pelayanan Sosial

Sumber: