TEGAL, radartegal.com- Mendorong perempuan korban kekerasan di Kota Tegal berani speak up, Wakil Wali Kota Tegal Tazkiyyatul Muthmainnah atau biasa disapa Mba Iin meminta perempuan untuk tidak takut bersuara.
“Perempuan jangan takut bersuara, melaporkan, jika melihat atau mengalami kekerasan,” kata Mbak Iin usai mengisi acara Talkshow dan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) yang dilangsungkan di Pendapa Bumi Perkemahan Pantai Alam Indah (PAI) Kota Tegal, Minggu sore, 23 November 2025.
Pemerintah Kota Tegal konsen dan berkomitmen dalam melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan.
Berbagai upaya dilakukan, mulai sosialisasi yang dilakukan Organisasi Perangkat Daerah hingga penanganan oleh UPTD PPA, bekerjasama dengan Polres dan pihak terkait.
BACA JUGA: Geger! Perempuan di Pemalang Ditemukan Tewas dengan Tangan dan Kaki Terikat
BACA JUGA: Semangati Mahasiswa soal Peran Perempuan dalam Generasi Unggul, Nawal Yasin: Kunci Indonesia Emas
“Apabila (angkanya) tinggi, kami siap tangani dan urus sampai tuntas,” tegas Mbak Iin.
Menurut Mbak Iin, Gerakan 16 HAKTP masih belum terlalu dikenal masyarakat, padahal secara global, satu dari tiga perempuan di dunia mengalami kekerasan.
Kampanye ini penting untuk membangun kesadaran bersama, agar kekerasan terhadap perempuan tidak dianggap biasa.
Dia menyoroti pentingnya keberanian perempuan untuk bersuara. Termasuk dalam menghadapi kekerasan di ruang digital yang kini makin marak.
BERBICARA - Wakil Wali Kota Tegal Tazkiyyatul Muthmainnah berbicara kepada para perempuan dalam acara Talkshow dan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Pendapa Bumper PAI, Minggu sore, 23 November 2025. -Istimewa -radartegal.disway.id
BACA JUGA: Indosat Kembangkan Potensi Perempuan di Daerah Melalui PaPeDa
BACA JUGA: Perempuan di Tegal yang Ditemukan Tewas di Depan Kos Diduga Dibunuh, Terduga Pelaku Diamankan Polisi
Mbak Iin justru merasa tidak tenang saat melihat angka kekerasan terhadap perempuan di Kota Tegal tergolong rendah, menyebut kondisi tersebut bisa jadi merupakan fenomena gunung es, di mana kasus yang tercatat hanyalah sebagian kecil dari kenyataan yang terjadi di lapangan.
Rendahnya angka pelaporan bisa terjadi karena korban masih takut, malu, atau tidak memiliki akses informasi yang cukup mengenai layanan pendampingan.